Cerita Sejarah dari Simbah Kakung

kenangan bersama kakek
Foto kenangan bersama kakek, nenek, dan sepupu. Diambil pertengahan tahun 1995.

Hari ini, tepat 12 tahun simbah kakung meninggalkan kami semua.

Beliau meninggal hanya berselang sepuluh bulan selepas kepergia Simbah Uti. Bagi saya, simbah kakung adalah panutan sekaligus teman bercerita yang asyik.

Pernah aktif sebagai PNS di lingkungan Departemen Agama, simbah bisa dikatakan orang yang memiliki jabatan yang cukup baik. Relasinya banyak, seragamnya rapi, dan tiap bulan mendapat jatah beras dan gula dari kantor.

Narasi itu yang kerap disampaikan beliau untuk memberi semacam doktrin kepada anak-anaknya agar bisa menjadi PNS. Dan terbukti, dari 8 putranya, 7 diantaranya menjadi PNS.  Termasuk ibu saya. Demikian pula cucu-cucunya yang seakan juga harus meneruskan takdir sebagai PNS.

Tetapi tidak dengan saya.

Simbah kakung bahkan membujuk saya untuk masuk sekolah kedinasan saat saya masih SMA. Saya masih ingat setahun sebelum kematian beliau, kami berbincang sebentar. Perbincangan ngalor ngidul pun akhirnya kembali mengerucut bujukannya agar saya menjadi PNS.

Saya ingin bebas jalan-jalan, Mbah. Saya ingin bebas mengkritik pemerintah.

Saya masih ingat kalimat itu yang keluar dari mulut saya. Entah apa perasaan beliau ketika saya mengutarakannya, yang jelas saya hanya manggut-manggut ketika beliau bercerita mengenai segala previlige dari seorang PNS. Kadang saya jemu dengar cerita itu. Tetapi, saya selalu menunggunya ketika beliau bercerita tentang sejarah.

Ingatannya akan sejarah sangat kuat. Dari zaman Singosari hingga zaman Pak Harto, semuanya diceritakan. Jika cucu lain seakan jemu dengan cerita ini, tapi tidak dengan saya. Secara khusus, setiap jumat malam, saya mendengarkan cerita beliau.

Diantara cerita yang paling saya tunggu, tentu cerita pembersihan para anggota dan simpatisan G30S/PKI salah satunya. Entah, bulu kuduk dan adrenalin saya seakan terpacu jika mendengar beliau bercerita.

Beliau pernah mengalami masa sulit ketika menempati rumah dinas di belakang Balaikota Malang. Saat itu, putranya hanya dua yakni dua bude saya. Saat awal Oktober 1965, selalu saja ada ketukan pintu yang terus meneror rumah dinas itu.

Lantaran simbah uti sangat takut akan nasib keluarga kami, maka simbah kakung pun memutuskan untuk mengungsi ke tempat yang aman. Yakni, rumah yang beliau tempati hingga akhir hayatnya. Menurut beliau, saat itu memang benar-benar tidak tahu mana kawan dan lawan. Sebagai pekerja di lingkungan Departemen Agama, bukan berarti akan aman-aman saja. Sebelum peristiwa itu meletus pun konstelasi sudah terjadi.

Yang unik, ternyata simbah kakung tidak ikut mengungsi bersama simbah uti dan kedua bude saya. Beliau memilih tetap tinggal di rumah dinas karena memang diberi amanah dari kantor untuk menjaganya. Dan tiap malam, beliau harus tidur bersembunyi di balik meja untuk memastikan bahwa rumah tersebut tidak ada yang menghuni.

Selain cerita mengenai G30S/PKI, saya juga senang mendengar cerita mengenai bekas jalur kereta api yang ternyata dulu pernah ada di depan rumah saya. Ketika kecil, saya memang bertanya kepada beliau mengapa daerah rumah kami diberi nama Mergan Lori. Kalau menilik kata lori yang berarti gerbong rangkaian kereta tebu, seharusnya ada bekas rel atau bangunan stasiun di dekat rumah kami.

Dengan enteng, simbah kakung menjawab bahwa memang depan rumah kami dulunya adalah bekas jalur kereta api pengangkut tebu dari perkebunan di utara Malang menuju Pabrik Gula Kebonagung. Bekas jalan kereta api ini yang kemudian menjadi jalan raya yang cukup sempit dan menjadi alternatif warga Malang sekarang.

Ibu saya masih menangi (mengalami) rangkaian lori yang melintas di depan rumah. Simbah kakung selalu mengajak anak-anaknya untuk menunggu lori yang melintas. Setiap kali lori melintas, ada saja tebu yang jatuh tercecer dan bisa diambil.  Lumayan, bisa dimakan sari patinya atau untuk mainan.

Nah, yang paling berkesan adalah cerita saat pemakaman Presiden Pertama RI, Bung Karno. Saat itu, simbah kakung juga mengajak bude-bude dan ibu saya ke RST Soepraoen yang kini jadi rumah sakit isolasi pasien corona. Rumah sakit ini hanya berjarak 500 meter dari rumah eyang kakung.

Di sana, ribuan orang sudah turun ke jalan. Memang, dari Bandara Abdurrahman Saleh, jenazah Bung Karno akan dibawa dengan ambulan menuju makamnya di Blitar. Dengan nada berapi-api, beliau bercerita bahwa saat itu banyak tentara dan polisi yang menghalau warga agar tidak menonton. Tetapi, karena begitu cintanya warga kepada Bung Karno, tetap saja warga Malang tumplek blek berbaur untuk memberi penghormatan terakhir.

Cerita lain yang saya suka adalah taktik Belanda untuk melakukan tukar guling tanah kepada warga pribumi. Menurutnya, tanah luas yang dimiliki olehnya adalah hasil turunan dari tukar guling ayahnya yang merupakan simbah buyut. Harusnya, tanah milik keluarga besar kami berada di sekitar Jalan Kawi yang ada di tengah kota.

Tetapi, karena tukar guling yang entah bagaimana ceritanya, maka tanah di daerah yang lebih pinggir pun harus diterima. Tak hanya keluarga kami saja, banyak keluarga lain yang juga mengalami hal yang sama. Yah namanya zaman penjajahan ya apa saja bisa dilakukan oleh mereka.

Banyaknya cerita sejarah yang dituturkan membuat banyak cerita yang saya ingat sekilas. Cerita itu akan cepat hilang jika tidak dituturkan ke generasi berikutnya. Makanya, lantaran saya punya blog ini, sesekali kalau saya ingat akan menuliskannya di blog ini. Agar abadi dan tidak mudah hilang.

Mungkin saya tidak bisa memenuhi harapannya menjadi seorang PNS. Tetapi, semoga saya bisa menyenangkannya dengan mengingat dan menulis cerita yang ia tuturkan dalam blog. Itu bagi saya sudah cukup untuk sedikit menunjukkan rasa bakti pada simbah kakung.

Sekian. Mohon doanya ya buat simbah kakung.   

4 Comments

  1. Nice story and I like old pictures:)

    ReplyDelete
  2. such a great story mas ikrom :-D
    ga tau tiba-tiba mbaca ini serasa aku masuk ke dimensi waktu dan kayak aku melok ikut dicritani oleh beliau hehe

    terutama pas ketegangan masa-masa pemberontakan g30spki, dimana tiap hari pintu rumah dinas simbah ada yang ketuk sampai harus sarean di bawah meja, aku serasa bulu kuduk kok ikutan merinding membayangkan suasananya, tapi sangat respect meski kudu pisah sementara dengan mbah putri lantaran ada kewajiban pekerjaan dan harus nempati rumah dinas, tetep ya mbah kakung berdedikasi tinggi dengan pekerjaannya. aku sampe ikut mbayangke segala kayak pemandangan rel dan lori tebu sik tiba2 terlintas dalam kepala

    btw mas ikrom, simbah kakung berarti menangi jamannya singosarikah?

    eh tapi tentang anjuran pns iki juga dulu sering kualami sih, terutama sedurunge nikah, ya karena mbah juga pns otomatis ibu daftar pns dan keterima, dari honorer terus diangkat, e abis iku lebar aku kelar kuliah yo diombyong2i suruh daftatr juga, beberapa kali ikut tes tapi durung rejekiku ih pancen hahahah

    ReplyDelete
    Replies
    1. tks mbak

      iya pas jaman PKI itu emang ngeri dan aku dulu sering ga bisa tidur habis diceritani apalagi wajib liat filmnya ya huhu

      engga mbak kan singosari udah runtuh pas sebelum majapahit tapi mbah kung sering cerita turunan raja raja atau patihnya yang punya tanah di mana aja,

      hahahaa kalau aku engga pernah sama sekali ikut dan gatau kenapa ya mbak engga tertarik ikut meski banyak yg suruh coba coba siapa tau nyantol aku malah wedi lek beneran nyantol wkwk

      Delete
Next Post Previous Post