Empat Hari Tiga Malam di Puerto Rico (aka Purwokerto) – Bagian 3

 


Menjelang Maghrib, saya dijemput oleh Dimas.

Saya meminta untuk makan terlebih dahulu agar tidak masuk angin. Ia mengajak saya ke daerah sekitar kampus Unsoed yang terkenal banyak warung murah untuk mahasiswa . Saat saya ajak makan, ia menolak dengan alasan sudah makan di rumah.

Ya sudah, saya pun makan ayam goreng yang cukup murah. Saya baru tahu kalau daerah di kampus Unsoed ini juga punya beberapa sentra kuliner yang khas. Ada warung tempe mendoan dan soto khas Sokaraja yang sangat ramai. Kalau saya engga keburu waktu mungkin saya coba. Saat itu penuh dengan mahasiswa yang sedang mencari makan.

KFC Purwokerto
Ada KFC di Purwokerto

Selepas makan dan salat, kami pun memulai perjalanan ke Bukit Agaran. Bukit ini sendiri berada di Kecamatan Kedungbanteng Banyumas. Tepatnya di sekitar kaki Gunung Slamet. Menurut Dimas, bukit ini menjadi basecamp ia dan teman-temanya di kala akhir pekan atau liburan sekolah.

Makan malam dulu biar engga masuk angin

Perjalanan dari pusat Kota Purwokerto ke bukit ini memakan waktu sekitar 30 menit. Sebenarnya, kami bisa lewat jalan utama menuju wana wisata Baturraden. Akan tetapi, karena saat itu sedang akhir pekan dan libur panjang, bisa jadi akan macet. Jadi, kami memilih lewat jalur pintas melewati Jalan Raya Keniten. 

Baca juga: Empat Hari Tiga Malam di Puerto Rico (aka Purwokerto) – Bagian 2

Sebelum melewati jalan tersebut, ada sebuah insiden kecil yang terjadi. Lantaran Dimas mengemudi dengan kecepatan penuh di sebuah jalan sepi dan rusak, ponsel miliknya terlempar jatuh. Untungnya saat kami kembali ponsel tersebut masih ada dan baik-baik saja. Ia memang meletakkan ponsel tersebut di atas speedometer dan merekatkannya dengan perekat gurita.

Ia mengatakan bahwa harus menggeber motor kencang karena di tempat tersebut sering terjadi tindak kriminal jambret dan begal. Waduh, saya mulai panik karena memang tidak ada tanda-tanda kehidupan selain sawah dan pekarangan.

Untunglah, tak lama kami sudah tiba di jalan raya besar kembali. Namun, lagi-lagi jalanan kembali sepi. Meski begitu, kata Dimas tak perlu resah karena sebentar lagi akan ada perkampungan. Benar saja, perkampungan ramai pun kami lalui. Perkampungan ini amat cantik karena benar-benar berada di kaki Gunung Slamet. Dari kejauhan, meski hari sudah malam, gunung tersebut masih tampak samar. Saya jadi ingat perkampungan di sekitar Pakem Sleman yang tampak jelas Gunung Merapi di waktu malam terlebih jika cuaca cerah.

Pola jalan yang kami lalui pun berganti dari hutan dan perkampungan berselang-seling. Semakin lama, jalan semakin menanjak dan rusak. Saya salut dengan Dimas yang begitu lihai mengendarai motor. Yah maklum saja, dia sudah hafal medan jalan karena hampir tiap minggu menjadi basecamp-nya.

Beberapa saat kemudian, saya membaui aroma tidak sedap yang ternyata berasal dari kompleks peternakan ayam di jalan yang kami lalui. Kata Dimas, sebentar lagi akan sampai karena peternakan ini tak jauh dari Bukit Agaran. Benar saja, setelah melewati jalan makadam dengan kerusakan cukup parah, kami sampai di tujuan.

Sudah sampai tapi gelap sekali

Sebuah lapangan besar dengan banyak warung terhampar di depan kami. Ada juga musala kecil dan taman indah. Ternyata, tempat tersebut hanya parkiran motor saja. kami harus berjalan kaki naik ke Bkit Agaran kurang lebih 15 menit.

Warung di dekat parkiran

Oh baiklah, lantaran sudah kepalang tanggung saya masih semangat. Semangat saya bertambah karena tak perlu membeli tiket masuk dan parkir karena Dimas sudah kenal dengan orang sana. Lumayan kan, hehehehe.

Saya pun mengikuti Dimas mendaki jalan terjal. Meski mendaki bukit, ternyata ada fasilitas lampu penerangan jalan. Jadi, kami tak perlu takut akan gelap seperti lagunya Tasya. Lampu-lampu ini sudah dipasang sedemikian rupa agar pengunjung bisa naik tanpa rasa was-was dan menghindari tersesat.

Alemong, gini amat ya mau pemotretan haha

Di beberapa simpangan, ada juga kursi dan tempat sampah yang tersedia. Pengunjung bisa beristirahat sebentar sambil minum jika lelah. Tidak hanya itu, saat saya berada di sebuah simpangan jalan, saya berpapasan dengan seorang bapak yang membawa nampan berisi gelas dan piring kosong. Ia juga mengenakan headlamp dan senter.

Ternyata, ia bertugas membawa makanan dan minuman bagi para tamu dari bawah ke puncak bukit. Jadi sistemnya delivery order. Pengunjung bisa memesan ke bapak tersebut makanan dan minuman apa yang dipesan oleh pengunjung. 

Asli, saya ternganga melihat kerja keras dari bapak tersebut. Sayang, saya tak sempat memotretnya karena kepayahan naik ke atas bukit. Sehat-sehat ya Pak. Semoga saja para pengunjung yang menggunakan jasanya bisa memberikan tips lebih. Asli, capai lho naik turun bukit dengan membawa nampan berisi piring makanan dan gelas minuman.

Saya sampai di puncak dengan napas berat. Harus lebih rajin olahraga nih. Untungnya, rasa lelah saya terbayar oleh pemandangan indah yang tampak di depan mata. Lansekap Puerto Rico eh Purwokerto benar-benar indah. Perumahan padat penduduk dengan kerlip lampu yang meneranginya tampak apik dengan cakrawala langit gelap dan mendung.

Bukit ini sendiri berada di sebelah utara Purwokerto. Makanya, lansekap Kota Purwokerto tampak menawan. Tidak hanya itu, tak ada kabut yang turun membuat pemandangan itu begitu jelas. Dan, sebagai pageant lover, jiwa perpejenan saya meronta-ronta.

Ketika menemukan spot berfoto berupa replika rumah dan tangan manusia, saya langsung ingin melakukan sesi photoshoot. Beruntungnya, saya bertemu seorang mas-mas yang mengelola tempat wisata tersebut untuk menjadi fotografer privat saya.

Ia adalah Mas Nanang (kalau tidak salah itu namanya, hehe) yang juga dikenal sebagai salah satu fotografer terbaik se-Purwokerto. Mas Nanang ini jago dalam memotret lansekap alam dan fotonya kerap masuk di dalam akun IG wisata hits. Alemong, saya jadi makin semangat.

DAR DER DOR

Ketika sesi pemotretan, ia menggunakan bantuan senter dan kamera ponsel sebagai sumber cahaya. Beberapa sumber cahaya tersebut ditata sedemikian rupa sehingga foto diri saya tampak bercahaya layaknya kontestan Miss Universe. Mas Nanang beberapa kali mengarahkan pose saya agar terlihat bagus dan instagramable. Berasa mau ikut pageant beneran ya wak. Terlebih, saat itu belum banyak pengunjung datang sehingga spot berfoto seakan milik saya pribadi.

Sekitar 45 menit melakukan photoshoot, akhirnya sesi tersebut saya akhiri karena hujan mulai turun. Tidak hanya itu, saya engga enak sama Mas Nanang yang juga harus menjaga tempat wisata tersebut karena mulai rame. Saya pun menepi di pos jaga sambil minum teh.


Melipir dulu di pos jaga

Keterkejutan saya akan tempat wisata ini tidak sampai di situ saya. Ternyata, mereka juga menyediakan fasilitas wifi dengan harga voucher 1.000 rupiah per jam. Maklum, di atas bukit tidak akan dijumpai sinyal ponsel. Makanya, mereka memanfaatkan jaringan pemancar internet secara swadaya dan mengkomersilkannya. Sungguh benar-benar usaha apik.

Pengunjung pun bisa langsung banting-membanting mengunggah foto mereka di spot terbaik di Bukit Agaran melalui media sosialnya masing-masing. Benar-benar mewadahi penggila foto.

Oh ya, Bukit Agaran ini pengunjung juga bisa kemping semalaman. Pengelola menyediakan berbagai peralatan kemping seperti tenda, kompor, dan tikar. Baru kali ini saya menemukan tempat wisata yang indah, sederhana, murah, tetapi dikelola dengan majamen bagus.

Ramai anak-anak mahasiswa yang kemping.

Cukup lama saya menghabiskan malam minggu tersebut. Saya baru pulang ketika hujan sudah reda. Sebenarnya, saya diajak Dimas untuk bermalam saja di sana. Ajakan ini saya tolak karena saya masih ingin tidur di dalam penginapan. Tidak hanya itu, saya tidak membawa baju ganti. 

Mari mendirikan tenda

Akhirnya kami pun pulang dan semakin malam semakin banyak anak-anak muda yang mengunjungi Bukit Agaran itu. Saya sampai di penginapan sekitar jam setengah 11 malam. Akan tetapi, saya tidak bisa langsung tidur karena harus membersihkan sepatu yang penuh dengan lumpur.

Begini amat perjuangan buat pemotretan

Saya tidak enak dengan petugas penginapan jika masih kotor. Makanya, saat masuk penginapan, saya nyeker alias tidak mengggunakan alas kaki. Saya langsung melipir ke kamar mandi dan mencuci sepatu sampai bersih. Barulah, saya bisa mengeringkannya sebentar dan masuk kamar. Entah apakah sepatu saya bisa kering atau tidak esok hari untuk penjelajahan selanjutnya.

Yang jelas, setelah mendaki bukit dan melalukan serangkaian sesi photoshoot saya langsung tepar dan tertidur. Saya butuh energi cukup untuk sesi photoshoot selanjutnya.

9 Comments

  1. Wuih ..., kok enak sih masuk ke bukit Puerti Rico, eh* bukit Agaran ngga pakai bayar tiket, haha .., jujur aku beberapakali juga pengalaman kayak gitu, ding.
    Tau-tau disuruh masuk area, dibebasin masuk sama petugasnya.
    Entah apa alasannya begitu, mungkin lihat aku gemesin [hueek ->toyor pala] kali yeeei ..., Wwkk 😅.

    Suka ide kreatifnya bikin wi-fian berjamaah dengan harga murmer.
    Bisa contoh juga buat lokasi wisata lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahhaha mas hima kan imut2 ya wak
      eike jadi insecure wkwkw

      etapi kadang kalau kenal sama yang punya situ jadi gratis kayak aku gini wkwk

      bener murah tapi pelayanannya bagus

      Delete
  2. Aduh sampai jatuh hapenya gitu ya
    Untung tidak sampai rusak parah
    Jangan terlalu cemas dan takut
    Harus berani :D
    Tempatnya indah sekali ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh ya ampoon ...ku lantas teringat kejadian aku pernah jatuh terpelanting di pinggir aliran air terjun sungai mudal .. , hapeku terlempar untung ngga kecebur, termasuk aku masih beruntung ngga nyebur juga.
      Demi postingan yeiii sampe segitunyaa ..., ☹️

      Delete
    2. iya bang bumi harus berani tapi tetep hati2 ya
      hahahha mas hima tetap ya demi postingan alemong ati2 pokoknya

      Delete
  3. Wihhh seru2 mas... wkwkw
    Ya ampun perjuangan banget ya.. malam2 ke Bukit Angaran. Duh, kalau saya otak sudah memproyeksikan sesuatu yg nggak2.. wkwkwk. Ngeri kalau semisal di tengah jalan terus ada yang begall.. mau berantem tapi nggak bisa.. wkwkw 😂😂

    Seru2 mas saya bacanya.. hahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. waduh ngeri
      saya juga sempat kepikiran gitu si tapi bismillah aja
      emang jalannu sepii banget

      Delete
  4. kalau malem jadi cantik dengan lampu kota dari atas bukit kayak gitu, tapiiii ternyata buat naik bukit juga perjuangan apalagi kalau jalurnya becek ya
    soal udara apa dingin buanget mas ikrom? itu anak mahasiswa malah ada yang celana pendekan, apa nggak terlalu dingin banget yak

    kalau aku jalan sendiri misal kesana, kayaknya ga berani, apalagi kalau lewat jalan yang rawan begal, serem juga ya

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau udara engga begitu mbak
      masih dinginan Batu klo menurutku
      iya makanya itu ada anak mhs pake celana pendek dan ada yg cuma pakai sandal haha

      iya serem si apalagi kalau engga tau medannya juga ya

      Delete
Next Post Previous Post