Kotagede yang Bersejarah, Kotagede yang Terbelah


Bagi penyuka wisata sejarah perkotaan masa lalu, nama Kotagede tidaklah asing.

Wilayah yang berada di Jogja ini sudah ditetapkan menjadi salah satu dari 13 kota terindah di dunia versi CNN. Menjadi pusat pemerintahan pada permulaan Kerajaan Mataram Islam, Kotagede memiliki tata kota yang lengkap untuk ukuran kota pada masanya. Kotagede pun juga dikenal akan kerajinan peraknya hingga ke mancanegara.

Walau memiliki nilai historis dan perjalanan panjang, nyatanya Kotagede memiliki sebuah masalah. Wilayah ini secara administratif merupakan wilayah yang terbelah, baik pada zaman dahulu atau masa sekarang. Banyak yang tidak tahu, Kotagede merupakan enklave (daerah kantong) dari Kasunanan Surakarta.

Wilayah yang Terbelah Sejak Dulu Kala

Wilayah ini bersama Imogiri masih menjadi bagian dari Kasunanan sebelum terjadi diserahkan kepada Kesultanan Yogyakarta pada era50an. Tepatnya, melalui Perda DIY No. 1 Tahun 1958. Saat itu, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menyerahkan dua wilayah eks Kasunanan Surakarta dan satu wilayah eks Mangkunegaran ke Pemerintah Provinsi DIY.

Pada masa modern, keterbelahan masyarakat Kotagede secara administratif masih terjadi. Sebagian wilayah Kotagede masuk wilayah Kecamatan Kotagede Kota Yogyakarta. Sebagian wilayah lainnya masuk Kecamatan Banguntapan Kabupaten Bantul. 

Batas wilayah Kotagede Jogja dan Kotagede Bantul

Akibat dari keterbelahan ini, tiap daerah hanya bisa menyentuh wilayahnya sendiri jika akan melakukan suatu pemugaran terhadap bangunan bersejarah. Misalkan, jika Pemkab Bantul akan memugar beberapa bangunan di Kotagede, maka mereka hanya bisa menyentuh bangunan yang berada di wilayahnya. Mereka tidak bisa memugar bangunan yang berada di wilayah Kecamatan Kotagede yang sudah masuk wilayah Kota Jogja. 


Padahal, agar bisa memugar kawasan bersejarah tersebut, butuh banyak sentuhan yang diperlukan. Terutama, dalam kaitannya dengan usaha untuk menjaring wisatawan. Salah satunya adalah perbaikan pedestrian di sekitar Kotagede. Bagi wisatawan yang akan berjalan ke wilayah ini, seringkali mereka kesulitan berjalan karena jalan yang sempit dan harus berjibaku dengan kendaraan yang berlalu lalang. 

Kotagede dan Imogiri yang dulunya bagian dari Kasunanan Surakarta. - wikipedia

Masalah transportasi untuk menjangkau wilayah ini juga perlu mendapat perhatian. Transjogja memang melintasi beberapa titik di Kotagede. Namun, akses untuk ke tempat bersejarah masih belum ada. Beberapa tukang becak juga kerap mangkal di beberapa titik. Meski begitu, jumlah mereka tidaklah banyak. Padahal, untuk menjangkau beberapa titik yang memiliki bangunan bersejarah perlu alat transportasi yang tepat. Satu-satunya cara yang bisa digunakan adalah menyewa sepeda motor.

Poin penting lain yang menjadi titik perbaikan adalah peta kawasan wisata yang bisa diakses dengan mudah oleh wisatawan. Kurangnya wisatawan yang berkunjung ke Kotagede seringkali disebabkan oleh ketidaktahuan mereka akan landmark yang menjadi ciri khas Kotagede. Mulai dari Masjid Agung, Makam Raja Mataram, hingga Pasar Kotagede yang ikonik.  Untuk itulah, sinergi dari beberapa pemerintah daerah yang wilayahnya masih terdapat bekas wilayah Kotagede sangat diperlukan.

Pelestarian Budaya Berbasis Komunitas

Meski secara administrasi mengalami keterbelahan, akan tetapi secara sosio kultural masyarakat Kotagede masihlah menyatu. Tidak hanya itu, lantaran sudah menjadi wilayah enklave sejak dulu dan kini terbelah secara administrasi, kegotongroyongan masyarakat Kotagede tetaplah tinggi.  Mereka tidak segan untuk memugar bangunan sejarah di Kotagede, baik secara individu maupun kelompok. Salah satu usaha yang dilakukan adalah memugar banyak rumah bersejarah yang rusah pascagempa 2006. 

Suasana jalanan di Kotagede

Sejumlah organisasi di Kotagede juga dibentuk untuk menangani masalah pemugaran ini. Salah satunya adalah Java Reconstruction Fund. Ada juga organisasi Pelestari Kawasan Pusaka Kotagede yang berdiri di masing-masing kelurahan. Adanya berbagai organisasi tersebut, membuat usaha pelestarian budaya di Kotagede, baik yang tampak maupun tidak tampak bisa tetap dilakukan agar bisa meningkatkan perekonomian masyarakat dari kunjungan wisata. Pelestarian pun dilakukan dengan berbasis komunitas tanpa menunggu lama campur tangan dari pemerintah.

Sehari Berkunjung ke Kotagede

Sambil menunggu acara bersama teman di kawasan Wirosaban, saya mencoba berjalan sebentar ke Kotagede di suatu hari. Saya menuju Kotagede dengan menaiki Trans Jogja 3B dari arah Blok O. Turun di halte Tegalgendu, saya pun mulai berjalan ke arah timur menuju pusat kerajinan perak. Untuk menuju Kotagede, kita juga bisa turun di halte Trans Jogja yang berada di dekat Lapangan Karang.

Berjalan di sepanjang jalan perbatasan Kotagede wilayah Kota Jogja dan Kotagede wilayah Bantul membuat saya cukup kepanasan. Meski begitu, saya masih semangat berjalan karena kini pemukiman penduduk di bantaran Sungai Gajahwong yang membelah kawasan ini mulai tertata rapi. Jalan berpaving dengan lampu taman yang menghiasinya membuat kampung di kawasan tersebut bisa menjadi obyek wisata baru.

Suasana perkampungan di Tegalgendu yang masuk wilayah Kota Jogja

Perjalanan berlanjut ke pusat kerajinan perak yang sebagian besar masih tutup. Pandemi covid-19 benar-benar menghantam sektor pariwisata Jogja terutama di Kotagede ini. Saya hanya menemukan tiga toko kerajinan perak yang masih buka. Kebanyakan juga belum membuka tokonya secara keseluruhan.

Jejak langkah kaki saya terus berjalan ke arah Pasar Kotagede. Sebenarnya, saya ingin mengunjungi tempat itu. Namun, rekan saya sudah mengirim pesan bahwa kami harus segera bertemu. Akhirnya, saya memutuskan hanya berjalan sampai di Masjid Agung Mataram Kotagede.

Masjid yang berada di Jagalan, Banguntapan, Bantul ini tampak sepi. Saya masuk ke gapura yang mirip dengan gapura milik umat Hindu tersebut. Lantaran bukan waktu salat, pengunjung tidak diperbolehkan untuk masuk ke masjid. Saya hanya berjalan sebentar di pelataran masjid sambil memaknai ukiran yang tergambar apik di sepanjang tembok yang mengelilinginya. Tembok ini menjadi batas kawasan masjid dan makam dengan rumah penduduk di sekitarnya.

Walau sepi, ternyata ada seorang anak yang sedang belajar mengaji. Lantunan ayat suci Al-Quran terdengar nyaring dari mulut anak tersebut. Seorang ustad sesekali membenarkan bacaan anak tersebut. Sang ibu, dengan setia menunggu sang anak yang sedang belajar mengaji sambil menyuapi anak bungsunya di pelataran masjid. Sungguh, sebuah keteduhan yang saya rasakan di Kotagede yang belum tentu saya temui di sudut lain di wilayah Jogja. 

Setelah puas berkeliling, saya mencoba keluar dari kompleks masjid melalui rumah penduduk. Gang sempit yang menjadi batas masjid dengan perkampungan membuatnya semakin unik. Kawasan ini menjadi modern tetapi masih memertahakankan tradisi. Ini terlihat dari beberapa rumah warga yang sengaja dibiarkan masih memertahankan arstitektur aslinya. Masyarakat sekitar menyebutnya sebagai Romansa Kota Lawas Kotagede.

Jalan menuju makam raja Mataram

 
Romansa Kota Lawas


Tembok Masjid Agung Mataram

Tidak lama saya berada di sana karena memang sebenarnya hanya menunggu waktu janjian. Singkatnya kunjungan itu tidak mengurangi pemaknaan saya atas wilayah ini. Saya masih kagum dengan tata kota zaman dulu yang begitu detail terutama dalam pembangunan landmark penting. Semoga saja, lebih banyak wisatawan yang datang kemari. 

Jogja tidak hanya sekitar Malioboro saja. Kotagede juga masih bagian dari Jogja dengan sejuta kisah panjang yang mengiringinya.

  

16 Comments

  1. Kotagede memang tak pernah membosankan. Bolak-balik saya ke situ, selalunya pas pulang bertekad untuk balik lagi. Terutama buat jajan 😁😁😁

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar ya mbak apalagi nasi balap yang dekat kerajinan perak itu
      belum lagi yang Lapangan karang, di Pasar Kotagede
      duh ngeces pokoknya

      Delete
  2. Aku Smp di SMP 1 Banguntapan, SMA ku juga di SMA 5..Kotagede. Semasa kecil...sebelum mengenal Malioboro.. Kotagede itu ya wilayah yang kami anggap paling Kota. Segala kebutuhan, bisa kami dapat di sana.

    Kipo, ramainya pasar Kotagede saat pasaran legi, gang-gang sempit yang bikin rawan tersesat dan susah untuk balik...itu kenangan ku sama Kotagede. Jelajah budaya malah blm pernah😀

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah itu sebelum PPDB Zonasi menyerang ya mbak heheh
      kalau sekarang pasti riweh akibat keterbelahan ini

      iya dibanding bagian Banguntapan lain, Kota Gede lumayan lengkap dan kota sih, selain Blok O.

      bener bener jalannya kayak labirin apalagi yang dari Pasar Legi
      kalau engga biasa bisa kesasar...

      Delete
  3. Wah, keknya bagus ini buat kalo ke Jogja lagi trus mampir sana buat keliling doang :)

    ReplyDelete
  4. Wahhh saya pernah melintasi kawasan ini sewaktu di jogja, saya tidak begitu tau kalau daerah tersebut terpisah menjadi dua.. Tapi jogja emang banyak tempat untuk bisa dijelajahi, mau kemana-mana selalu tempat tempat wisatanya masing-masing. Jadi pengen ke jogja lagi..

    ReplyDelete
    Replies
    1. ini di daerah selatan sih jadi jarang dilintasi wisatawan
      kecuali kalau mereka tahu info pas ke malioboro

      lo sekarang di mana mas?

      Delete
  5. Aku belum pernah ke Jogja mas Ikrom, jadi belum pernah ke Kotagede ataupun Malioboro. Tapi ternyata Kotagede itu terbelah jadi dua ya, ada yang di Yogyakarta, ada juga Kabupaten Bantul. Tapi syukurlah biarpun secara administratif terbelah tapi warganya masih kompak.

    Jadi pengin kesana buat lihat lihat rumah lawas nya. :D

    ReplyDelete
  6. Unik ya, Mas Ikrom. Satu kota dipimpin dua Kepala Daerah. Selamat malam, terima kasih telah berbagi informasi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Disini juga ada kok Bu, namanya Cikande, satu di kabupaten serang satunya lagi Tangerang jadinya dua kepala pemimpin. :)

      Delete
    2. waah saya juga baru tahu akan adanya hal itu, keren deh..

      Delete
  7. Cieeeee, Mas Ikrom mau ketemu siapa tuh, di sana? Hehehe. 🤭

    Aku salut banget sama masyarakat Kotagede, mas. Walaupun pemerintah daerahnya mungkin kurang kompak buat meningkatkan pesona wisata Kotagede, tapi masyarakatnya kompak banget. 😆

    Ngomong-ngomong nuansanya bagus banget, mas. Masih berasa nuansa kerajaannya 😆. Jadi pengen halan-halan ke sana juga deh.

    ReplyDelete
  8. Baca tulisan ini serasa lagi diajak nostalgia waktu studytour ke Yogya 😆. Aku pernah dibawa ke Kota Gede dan mengunjungi salah satu toko pengrajin perak tapi aku lupa nama tokonya 😅. Kangen sekali pengin ke Yogya dan sekitarnya lagi. Di sana masih kental sekali peninggalan sejarahnya. Pengin bisa eksplor lebih lagi ke sana 🥺
    Terima kasih atas informasi sejarahnya, Kak Ikrom!

    ReplyDelete
  9. Berhubung kampung ayah saya di Bantul, gambaran saya tentang Jogja tentu saja tak sekolot daerah Mailoboro dan tempat-tempat wisatanya. Tapi saya baru tahu, kalau pengin memugar, modifikasi, atau apalah itu, cuma bisa menyentuh wilayahnya sendiri. Lucu aja gitu. XD

    ReplyDelete
  10. Dibandingkan malioboro, aku malah suka berkeliling daerah kotagede mas. Dulu pernah ada ikut acara keliling jogja, dan kotagede termasuk dalam salah satu tempat yang dikunjungi.

    Kemudian di lain waktu keliling kotagede sendirian. Menikmati suasana pasar kotagede yang sangat ramah dan unik. Tentu saja singgah ke masjid dan makam raja mataram.

    Pengen ke kotagede lagi

    ReplyDelete
Next Post Previous Post