Didesak Jadi PNS, Saya Menolak dengan Tiga Alasan Ini

Ilustrasi, Dok Istimewa

Kenapa sih, kamu enggak mau jadi PNS?

Kok engga nyoba aja, siapa tahu kan dapat?

Wah, kamu bisa lolos lho sebenernya kalau ikutan tes. Kok malah nyia-nyiain sih?

………………

Asli, berbagai pertanyaan tersebut berdengung di telinga saya setiap kali musim penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS) datang. Rasanya, pertanyaan tersebut menghujam saya bak pertanyaan Malaikat Munkar Nakir yang menanyai dosa-dosa saya di dunia.

Satu dua pertanyaan masih bisa saya jawab tetapi lama-lama jengah juga. Apa tidak ada hal yang lebih penting dibandingkan “memaksa” saya untuk ikut tes CPNS dan kemudian saya bisa menjadi PNS?

Maaf, tulisan kali ini saya sedikit ngegas karena kebetulan memang sedang banyak pekerjaan yang harus saya lakukan terkait wirausaha yang sedang saya bangun tetapi dengan saat yang bersamaan berondongan agar saya ikut tes CPNS datang bertubi-tubi. Saya pun akhirnya menjawab dalam bahasa Spanyol:

Ser funcionario es ciertamente un trabajo noble, pero no significa la única forma de alcanzar la felicidad y esforzarse por ayudar a muchas personas. Muchísimas gracias.

Saya sangat menghargai kepedulian orang-orang di sekitar saya agar saya ikut tes CPNS. Namun, kadang saya juga kecewa ketika mereka mengecilkan usaha yang saya bangun selama ini terlebih dengan sedikit sindiran bahwa saya akan menyesal jika menyia-nyiakan kesempatan ini. Lho, kenapa harus menyesal, toh pilihan ini sudah saya pilih dengan matang dan juga melalui tes psikologi?

Nah, lantaran saya tidak bisa berbicara banyak ketika bertemu dengan orang yang terus saja mendesak saya untuk ikut tes CPNS, maka saya akan memaparkan beberapa alasan mengapa saya tidak mau jadi PNS.

Pertama, saya tidak mau kreativitas, keingintahuan, dan keberanian saya dalam mengkritik sesuatu terbatasi.

Dengan menjadi PNS, saya sadar bahwa saya harus menerima konsekuensi untuk melakukan tupoksi sesuai sumpah jabatan yang saya emban. Semisal menjaga nama baik institusi tempat saya bernaung. Masalahnya, saya tidak bisa jika ada satu hal yang menurut saya salah dan dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa tetapi saya diam dan tetap bekerja di sana.

Pengalaman menjadi guru honorer pada sistem kerja dengan banyak PNS di dalamnya membuat saya sadar bahwa saya tidak cocok menjadi PNS. Masih dalam keadaan bekerja saja, saya masih menulis hal-hal yang menurut saya menyimpang. Saya sempat diperingatkan oleh rekan yang kebetulan PNS agar saya nerimo saja sistem kerja semacam itu. Sontak saya protes dong.

Baca juga: Minimnya Proses Editing Pembuatan Buku Kerja Siswa

Mana bisa saya membiarkan proses penyusunan BKS siswa yang terkesan asal-asalan? Mana bisa saya membiarkan proses pelaporan BOS yang kurang sistematis dan membuat banyak guru harus mengerjakannya hingga larut malam? Dan berbagai hal yang menurut saya tidak tepat.

Jika saya menjadi PNS, saya tidak bisa membayangkan satu hari saja betah untuk bungkam, menjadi anak manis, tapi dalam hati uring-uringan. Apalagi masa kerja saya yang mungkin masih amat panjang.

Kedua, saya tidak begitu pas dengan sistem penilaian kerja PNS yang disebut Sasaran Kerja Pegawai (SKP).

Kebetulan, saya dulu juga mengerjakan penilaian SKP ini. Saat mengerjakan tugas tersebut, saya menemukan sebuah kejanggalan bahwa penilaian didasarkan pada senioritas. Artinya, PNS yang lebih senior dan memiliki pangkat serta golongan yang lebih tinggi dalam satu instansi harus memiliki nilai yang lebih tinggi daripada PNS yang pangkat dan golongannya lebih rendah.

Saat saya mengerjakan SKP dengan Bapak KS, ada dua guru PNS yang pangkat dan golongannya berbeda jauh. Kalau tak salah yang satu IV/a (golongan tinggi) dan satunya III/a (golongan rendah). Guru yang berpangkat IV/a memiliki kasus di sekolah lama dan baru saja dimutasi ke sekolah saya. Di tempat kerja baru, ia tak juga berubah. Masih datang terlambat, pulang lebih cepat, dan sering meninggalkan sekolah tanpa izin.

Baca juga: Balada SKP dan Ke(tidak)inginan Saya Menjadi PNS

Sementara, guru golongan III/a baru saja diangkat menjadi PNS. Ia masih sangat muda, energik, banyak ide, dan cara mengajarnya bagus. Nah, jika penilaian obyektif, maka nilai perilaku kerja dalam SKP seperti integritas, disiplin, dan komitmen guru muda ini harus tinggi dong. Sebagai apresiasi dia yang telah berkomitmen menjadi PNS yang kompeten. Bapak KS pun melakukan demikian dan saya memberi nilai seperti apa yang beliau perintahkan.

Namun, ketika penilaian baik bagi guru berpangkat rendah dan guru berpangkat tinggi saya berikan kepada pengawas, saya malah dimarahi. Katanya, guru yang berpangkat tinggi harus mendapat nilai lebih tinggi daripada yang berpangkat rendah. Guru yang berpangkat rendah jangan diberi nilai tinggi dulu agar nanti jika naik pangkat tidak terjadi penurunan nilai. Demikian pula untuk guru yang berpangkat tinggi harusnya mendapat nilai tinggi.

Saya pun lalu memberikan alasan mengapa dua guru ini mendapatkan nilai yang tidak sesuai harapan. Saya mengatakan bahwa kinerja dua guru ini sangat berkontradiksi dan kalau mau obyektif ya harus memberikan nilai yang pantas untuk mereka.

Sayang, bukannya mendapat penjelasan yang pas, saya mau tak mau ya harus menyampaikan kepada Bapak KS agar nilainya diubah. Akhirnya saya pun tak ingin berdebat dan mengalah agar pekerjaan saya cepat selesai. Dan pastinya, sejak saat itu saya sudah berkomitmen untuk tidak menjadi PNS. Salinan dua SKP milik dua guru ini sampai sekarang tetap saya simpan sebagai penyemangat saya jika masih ada yang mendesak saya untuk jadi PNS, saya tidak akan goyah.

Ketiga, saya tidak mau terjebak dalam kemapanan semu sehingga saya jadi keblinger melakukan hal berbahaya. Apa maksudnya?

Menjadi PNS memberikan banyak sekali keuntungan semisal meminjam uang di bank dengan mudah. Dengan menggadaikan SK, maka berbagai tawaran pinjaman pun berdatangan. Otomatis, keinginan untuk memiliki barang yang harganya di luar kemampuan akan sangat mudah.

Saya menyaksikan sendiri beberapa rekan PNS yang dengan entengnya menggadaikan SK mereka untuk mendapatkan pinjaman untuk membeli barang mewah seperti mobil. Saya tidak menyalahkan mereka toh itu hak mereka. Namun, kadang mereka juga keblinger dengan meminjam uang cukup banyak sehingga gaji mereka yang terpotong untuk membayar cicilan sangat besar. Akhirnya, mereka pun kelimpungan jika ada kebutuhan mendesak. Ujung-ujungnya, mereka pun meminjam teman bahkan kepada teman yang bukan PNS pun.

Baca juga: Sifat Otoriter Kepala Sekolah dan Peran Pasif Masyarakat dalam Penyelewengan Dana BOS

Tiga alasan itu yang menjadi dasar saya tidak mau jadi PNS. Saya juga ingin memutus rantai PNS dalam kehidupan saya. Kakek saya seorang PNS di lingkungan Kementrian Agama. Ibu saya adalah Guru PNS. Belum lagi bibi, om, pakde, budhe, dan beberapa sepupu yang juga jadi PNS. Jadi, generasi menjadi PNS ingin saya putus pada diri saya.

Meski demikian, saya sangat mengharagi bagi siapa saja yang ingin menjadi PNS. Beberapa mahasiswa yang menjadi tutor saya dan baru saja lulus juga sering bertukar pandangan dengan saya karena mereka ingin sekali jadi PNS. Ketika mereka  izin untuk mengikuti tes CPNS dan mengurus administrasi tetek bengeknya, saya pun memberi mereka izin. Saya juga mendoakan supaya mereka lulus tes CPNS. Dan yang pasti, saya beri pesan jika mereka lulus, mereka bisa menjadi PNS yang benar-benar layak dan tidak mengejar kebanggaan diri, cuan, dan sejenisnya.

Kalau saya, daripada waktu habis untuk tes CPNS, lebih baik saya habiskan untuk menyusun target usaha saya dan pastinya mengasah kreativitas dalam menulis. Semua orang punya pilihan masing-masing maka hargailah pilihan setiap orang asal baik dan tidak merugikan orang lain.

6 Comments

  1. You do you sih Mas. Kadang orang tuh emng suka ribet sndiri ya. Aku pikir hal2 seperti ini udah jatuhnya di ranah pribadi. Kenapa masih saja dipertanyakan..
    Orang kan kebanyakan melihat dari hasil saja. Sedangkan usaha di belakang mana mereka peduliin.

    That is why. Masyarakat kita banyak yg megang Prinsip kalau Orang udah jadi sebagai Manusia Seutuhnya jika sudah Sekolah, jadi PNS, menikah dan punya anak. Hhmm 😶

    Semangat terus Mas Ikrom..

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya ini kan privasi ya
      tapi suka suka mereka lah
      tar kasih tulisan ini aja wkwkwk

      bener kayak belum jadi orang ya kalau belum jadi PNS
      herman deh wkwkw

      semangat juga ya mas bayu

      Delete
  2. Iya bener sekali mas, kalau bisa jangan jadi PNS. Ketiga alasan yang mas tulis ini memang terjadi. Lebih baik jadi pengusaha saja, tantangannya lebih nyata. Biar gak nyesel kayak saya, jadi PNS malah energinya lebih-lebih. Kalau ada yang nyuruh jadi PNS mending jawab saja "gak muashok".

    ReplyDelete
  3. Salut buat mas Ikrom atas keteguhannya tidak mau jadi PNS karena melihat beberapa hal yang kurang bagus didalamnya.

    Memang aku lihat seperti itu terutama yang nomor dua, yang senior harus bagus biarpun kinerjanya biasa saja atau malah jelek, sedangkan yang muda biarpun ekstra keras berusaha tetap segitu saja nilainya.

    Baru tahu kalo SK PNS bisa untuk minjam duit.😅

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya kan jadi kurang fair menurutku
      wkwkw iya namanya SK-nya disekolahin dulu

      Delete
Next Post Previous Post