Rumpi Kala Hujan, Kenangan Lupus Kecil dari Hilman Hariwijaya


 

Saya masih tak menyangka Mas Hilman Hariwijaya sudah meninggalkan kita semua.

Kenangan akan beliau dalam cerita Lupus masih membekas di sanubari saya. Salah satu karya yang begitu terkenang di hati saya adalah seri Lupus Kecil. Seri ini menjadi seri favorit saya di samping Lupus Dewasa dan Lupus ABG.

Lupus Kecil bercerita mengenai Lupus saat masih SD. Saat itu, ayah Lupus masih hidup dan belum meninggal. Sosok Lupus yang ceria dan cerdik digambarkan apik oleh Mas Hilman. Pun dengan sosoknya yang setia kawan dan membantu teman. Penggambaran sosok terakhir ini bagi saya lebih mudah dipahami oleh anak-anak dibandingkan cerita pada buku pelajaran.

Ada beberapa buku Lupus Kecil yang saya punya, diantaranya Lupus Kecil Bolos, Duit Lebaran, Terserang si Ehem, dan Rumpi Kala Hujan. Nah, judul terakhir ini menjadi yang paling favorit lantaran ada cerita yang bikin ngakak sekaligus bikin mewek sekaligus.

Cerita dibuka dengan drama hujan deras di suatu pagi. Lupus dan Lulu- sang adik- yang bawelnya minta ampun berebut menggunakan payung untuk pergi ke  sekolah. Drama semakin menjadi karena si Papi juga ingin menggunakan satu-satunya payung di rumah itu untuk bekerja.

Si Mami yang sudah pusing dengan masakan di dapur akhirnya menjadi hakim garis bagi mereka. Mami menjadi penengah dan akan memutuskan siapa yang berhak menggunakan payung tersebut. Satu per satu anggota keluarga pun memberikan pleidoi mengenai alasan mereka layak menggunakannya. Ada yang takut sakit sehingga tak dapat duit dan ada pula yang takut kehujanan. Setelah menimbang dan memutuskan, akhirnya hujan pun reda. Papi, Lupus, dan Lulu tak jadi menggunakan payung dan berebut untuk pergi berangkat.

Cerita berlanjut dengan Mami yang sok belajar bahasa Inggris. Di tengah kegiatan belajar itu, tiba-tiba ada kejadian kebakaran di dekat rumah mereka. Sontak saja, Mami bukannya menyelamatkan diri dan mengungsi, tetapi mencari arti kata kebakaran dalam bahasa Inggris. Ia pun sangat bahagia ketika bisa menemukan kalimat itu dan berteriak:

Firee…

Firee..

Asli, saya ngakak saat bagian ini. Apalagi di tengah kekacauan itu, Mami malah sibuk berceloteh dalam bahasa Inggris yang semakin ngaco. Semisal, ia membuat kalimat bebunyi:

This is book cat. Hello, write dog in the kitchen?

Cerita berakhir dengan Papi yang menunggu bawang ungsian di tengah jalan sambil mengisi TTS karena kebakarannya ternyata kebakaran kecil.

Cerita ketiga ini sering terjadi pada kita atau saat kita anak-anak. Lupus diminta Mami mengantarkan masakan ke Tantenya naik Metromini. Zaman itu belum ada Busway dan MRT ceritanya. Lupus yang masih SD tentu bingung dan tersesat saat naik bus, Ia pun datang ke tantenya menjelang maghrib.

Lupus yang mulanya membayangkan Tantenya akan terkejut karena mendapatkan surpirese eh ternyata si Tante malah datar-datar saja. Bagaimana tidak datar wong Maminya menelepon Tantenya terus karena Lupus tak kunjung datang? Namun, cerita ini ditutup happy ending karena Lupus dibelikan es krim vanilla kesukaannya.

Ada juga cerita Happy teman wanita Lupus yang bertubuh gendut. Happy ini nanti juga menjadi salah satu dambaan hati Lupus saat SMA. Ceritanya, Happy ini sering diejek temannya dan dijadikan pelampiasan body shaming. Happy yang akhirnya tidak Happy pun melakukan diet ketat.

Cerita yang bikin mewek adalah cerita tentang teman Lupus yag bernama Alfred. Jadi Alfred ini adalah seorang Kristiani yang orang tuanya sakit. Saat itu menjelang natal dan Alfred belum memiliki pohon natal. Lupus yang setia kawan memotong pohon cemara milik Mami secara diam-diam untuk diberikan Alfred. Setelah berbagai drama, akhirnya Mami tak jadi memarahi Lupus karena sudah memotong pohon cemaranya.

Diantara berbagai cerita di buku ini, saya paling suka bagian Kamu Bukan Maling, Kan? Cerita ini mengisahkan Iko Iko, teman Lupus yang berpenampilan dekil dan lusuh. Ia selalu dicurigai satpam Mall kalau sedang jalan bersama teman-temannya. IKo iko memang anak orang miskin sehingga berpenampilan seperti itu.

Suatu ketika, Iko Iko diminat lupus pergi ke supermarket bersamanya. Ia yang awalnya menolak akhirnya mau. Namun, ia membeli majalah dulu di luar supermarket itu. Saat membayar, benar saja Iko Iko dicurigai satpam karena membawa majalah baru yang sudah tak bersegel dan penampilannya yang buruk.

Sang satpam menarik Iko Iko dan menuduhnya mencuri. Meski sudah dijelaskan oleh Lupus dan temannya Pepno, tetap saja sang satpam tak percaya. Ia tetap menuduh Iko Iko mencuri. Akhirnya Lupus dan temannya memberi uang ke satpam itu meski Iko Iko memang tak mencuri agar tidak dibawa ke kantor satpam.

Lupus masih tak menyangka hingga saat itu banyak orang yang menilai orang lain dari penampilannya saja. ia juga sedih tak punya kuasa untuk mengubah mindset itu. Cerita ini menjadi cerita yang paling berkesan bagi saya karena dulu saat SD saya juga punya teman SD seperti Iko Iko.

Ia berasal dari keluarga tak mampu dan penampilannya sangat kotor. Saat saya ajak ke toko mainan Tamiya ia juga menolak karena akan dituduh maling. Padahal ia hanya menemani saya saja. Sungguh, dalam perspektif anak kecil, masalah sepele seperti ini bisa jadi nilai yang mereka pegang saat dewasa nanti.

Nilai-nilai ini yang cukup digambarkan apik oleh Hilman dan Boim yang bekolaborasi dalam seri Lupus Kecil ini. Mereka memberi pengajaran secara asyik dan sederhana melalui kisah anak-anak yang tak jauh dari kehidupan anak-anak. Kisah ini tidak dirangkai secara serius tetapi dengan bahasa ngocol agar anak-anak mau membaca dan tertarik mendalami kisah di dalamnya. Suatu karya luar biasa yang tak mudah dibuat.

Selamat jalan Mas Hilman.

 

     

 

4 Comments

  1. Bener-bener seru dan suka baca Lupus. Ringan tapi banyak nilai-nilai berharganya yah. Kocak lagi 😆

    ReplyDelete
  2. Saya baru tahu kalo mas Hilman pengarang lupus, maklum belum pernah baca bukunya biarpun tahu, malah bacanya buku Wiro sableng.😄

    Sedih juga baca kisah lupus yang temannya disangka maling oleh satpam hanya karena berpakaian lusuh dan dekil. Tapi memang di dunia nyata seperti itu juga ada sih.

    ReplyDelete
  3. Saya tidak mengikuti film Lupus. Cuman mendengar cerita teman2 saja. Zaman itu saya lagi gila kerja cari duit. He he . Tak sempat nonton. Turut berduka buat almarhum. Terima kasih telah berbagi informasi, Mas Ikrom. Selamat berpuasa.

    ReplyDelete
  4. Sedih ya... Apalagi jadi teringat bahwa buku-buku Lupus saya banyak yang dipinjam teman dan tidak dikembalikan lagi. Ikhlas tapi kalau lagi keinget gini jadi bete juga hehehe
    Semoga Mas Hilman mendapat tempat terbaik disisiNya karena lewat tulisannya sudah membawa secuil keceriaan di masa kanak-kanak dan remaja kita.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post