Terjebak Banjir di Semarang, Banyak Hikmah di Balik Musibah

Pengalaman terjebak banjir di Semarang
Pengalaman terjebak banjir di Semarang 

Beberapa waktu yang lalu, saya memutuskan untuk berlibur ke Semarang.

Keputusan ini saya ambil setelah menolak beberapa tawaran liburan ke tempat lain dari teman atau keluarga. Ngapain sih ke Semarang? Itulah kalimat yang sering saya dengar ketika saya mengupdate media sosial mengenai rencana perjalanan saya.

Kepergian saya kali ini memang untuk kali kesekian. Sebenarnya, kalau dibilang untuk liburan juga tidak. Saya malah ingin melihat dari dekat bagaimana sih rasanya terkena banjir di Semarang. Meski terlihat aneh dan tidak menyenangkan, tetapi saya mencoba untuk tetap pada keputusan saya. Berada di sebuah tempat yang sebenarnya tidak terlalu menguntungkan buat saya.

Lantaran, kalau dipikir saya punya banyak kans untuk membuat liburan saya menyenangkan. Jika ditelisik dalam pembuatan konten, sebenarnya masih ada kota lain yang belum saya jelajahi untuk pengembangan konten saya. Denpasar, Medan, Lombok, atau yang lain. Mengapa harus Semarang?

Mulanya, saya ingin ke Denpasar. Namun, keputusan mengalihkan tujuan liburan ke Semarang tiba-tiba saja muncul setelah saya melihat sebuah video mengenai tenggelamnya pesisir Pulau Jawa di sebuah kanal You Tube. Tak hanya itu, beberapa waktu kemudian, saya pun membaca laporan dari Majalah Nat Geo mengenai daerah di sekitar Semarang yang mulai tenggelam akibat penurunan muka tanah dan naiknya permukaan air laut. Saya pun merasa liburan akhir tahun ini adalah waktu yang tepat untuk mengamati itu semua karena intensitas hujan sedang tinggi-tingginya.

Saya sadar jika keputusan ini akan juga berdampak buruk bagi saya. Semisal, saya harus menyiapkan barang bawaan lebih mulai dari payung, penutup tas, tas kresek, dan baju ganti yang lebih banyak. Saya juga harus siap bahwa nantinya saya tidak bisa leluasa pergi karena hujan dan banjir. Walau demikian, segala risiko tersebut sudah saya siapkan karena saya begitu ingin melihat dari dekat bagaimana kota ini melakukan mitigasi terhadap bencana.

Ujian pertama datang ketika saya baru turun dari Stasiun Semarang Tawang. Hujan turun dengan deras ditambah petir yang menyambar. Saat perut belum terisi sedari siang, saya harus menuju Halte Trans Semarang untuk naik bus Trans layanan malam koridor Simpang Lima-Stasiun Tawang-Pelabuhan. Kalau ingat kata-kata teman saya yang lebih baik menggunakan akhir tahun untuk staycation rasanya ingin melakukannya juga.

Namun, kala saya tiba di halte, saya melihat beberapa orang yang tengah tertidur pulas berselimutkan sarung saat hujan deras tersebut. Belum apa-apa, saya sudah menemukan pelajaran tentang makna bersyukur. Kemiskinan di kota ini yang cukup tinggi membuat banyak warga di bawah garis kemiskinan menggunakan Halte Trans Semarang sebagai tempat berteduh saat malam.

Menunggu bus Trans Semarang layanan malam rasanya menjadi pelaran selanjutnya. Belajar untuk yakin di tengah ketidakpastian. Meski saya yakin busnya akan datang setelah mengirim pesan kepada pihak Trans Semarang, tetapi dengan lamanya waktu tunggu di dalam halte dalam kondisi hujan deras dan angin kencang membuat hati saya gundah juga. Akan tetapi, saya mencoba menguatkan hati bahwa pasti busnya akan datang dan ada jalan menuju penginapan. Pelajaran yang amat berharga selenjutnya yang bisa jadi baru bisa terasa setelah saya alami sendiri.


Kala busnya datang, saya disambut dengan ramah oleh kondektur bus yang menggunakan pakaian putih rapi jali. Ia sangat ramah dan membantu saya dalam perjalanan. Meski dingin dan kehujanan, para pekerja mala mini tetap semangat melayani penumpang. Walau saya menjadi penumpang satu-satunya, mereka juga tetap prima dalam memberikan standar pelayanan minimal sehingga saya nyaman berada di dalam bus. Saya pun belajar bahwa ketika kita bahagia menjalankan apa yang kita kerjakan, maka semuanya akan terasa ringan.

Bisa jadi, mereka harus menambah jam kerja karena harus bekerja sampai jam 12 malam. Bisa jadi, denagn tidak adanya penumpang lain, seakan layanan malam ini kurang menguntungkan. Buat apa capai-capai kerja malam kalau tak ada penumpang? Meski demikian, mereka tetap enjoy pun saat tiba di Pelabuhan Tanjung Mas. Angin kencang yang melanda membuat mereka semakin akrab satu sama lain dan bercengkrama di dalam halte untuk menunggu penumpang serta jam keberangkatan.

Pelajaran yang amat penting lainnya ketika saya akan pulang ke Surabaya. Hujan turun amat deras sedari Subuh membuat saya bingung bagaimana caranya untuk bisa keluar dari penginapan. Kondisi yang tak menguntungkan tersebut ditambah dengan banjir yang mulai menerjang dan tak ada satu pun transportasi yang bisa saya gunakan.

BRT Trans Semarang lumpuh. Ojek online tidak berani menaikkan penumpang. Pun demikian dengan taksi mobil yang hanya mau di beberapa bagian dari kota ini. Setelah merasa sedikit menyesal mengapa saya sempat ingin melihat banjir di Semarang dan benar-benar menjadi kenyataan, akhirnya saya memutuskan berjalan kaki dari Simpang Lima menuju Stasiun Semarang Tawang.

Dengan kepayahan membawa payung dan bawang bawaan melimpah, saya berjalan perlahan melewati genangan air yang setinggi pinggang. Banjir kali ini amat parah dan mungkin banjir paling parah yang saya alami selama hidup saya. Belum pernah saya saksikan sendiri bagaimana sebuah kota yang mualnya cantik dengan jalanan yang padat tiba-tiba saja lumpuh.

Orang-orang yang kelimpungan untuk beraktivitas, mobil dan motor yang mogok di tengah jalan, hingga para polisi yang kepayahan mengatur jalan dan membantu para pengendara. Saya semakin kepayahan ketika berada di Kota Lama Semarang. Kawasan yang biasanya didatangi turis ini saat itu saya saksikan sendiri menjadi daerah yang mengerikan. Pada beberapa bagian, banjir setinggi dada sehingga saya harus menjaga barang bawaan saya tetap kering.

Untung saja, seorang polisi membantu saya untuk bisa berjalan dengan aman. Lantaran, di sekitar tempat wisata tersebut terdapat beberapa parit tak terlihat yang cukup membahayakan. Saya pun mengikuti langkahnya sambil menahan bau anyir yang menusuk hidung. Banjir memang membuat penderitaan yang tiada akhir.

Stasiun Tawang yang terendam banjir

Sesampainya di Stasiun Tawang, saya dikejutkan dengan kondisi stasiun yang tak lagi tergenang tetapi tenggelam. Aktivitas lumpuh dan tak sama sekali kegiatan naik turun penumpang. Kondisi semakin kacau ketika ada desas-desus bahwa kereta api tidak ada yang jalan dalam batas waktu yang tak bisa ditentukan. Kaki rasanya lemas setelah saya mendengar sendiri penjelasan dari costumer service bahwa berita itu memang benar adanya.

Saya pun duduk dan mulai menarik napas. Belajar apa yang sedang saya alami ini adalah nyata tanpa fatamorgana. Walau dalam hati bimbang, tetapi saya mencoba belajar mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah. Mulai menunggu dulu di stasiun hingga entah kapan, mencari penginapan untuk bermalam lagi, hingga berkomunikasi dengan penumpang lain untuk menyewa mobil, truk, atau apa pun asal bisa keluar dari Semarang.

Di tengah putusasaan, tiba-tiba saya diwawancara oleh seorang wartawan mengenai bagaimana kondisi perjalanan yang sedianya akan saya lakukan. Walau dengan muka kusut, baju basah semua, tetapi saya mencoba untuk tetap on point menjawab pertanyaan dari wartawan. Saya katakan bahwa kami memag belum pasti untuk berangkat dan tidak tahu bagaimana nantinya jika kereta tidak jalan.    

Setelah itu, kondisi semakin kacau ketika banyak penumpang kereta yang seharusnya berangkat pagi tetapi gagal berangkat karena mereka terjebak banjir. Pihak PT KAI bersikukuh bahwa sebelum jam 9, kondisi masih normal sehingga gagalnya mereka berangkat membuat tiket tidak bisa dikembalikan. Umpatan kasar dan makian keluar dari beberapa penumpang tersebut.

Saya pun belajar banyak untuk mengendalikan diri ketika berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Walau mulut ini rasanya juga ingin mengumpat tetapi saya sadar bahwa kondisi yang saya alami juga di luar kuasa manusia. Meski bagi saya manajemen krisis dari PT KAI cukup kacau saat itu, tetapi saya beruntung masih diberi kesempatan naik kereta beberapa jam kemudian.

Kondisi ini masih jauh lebih beruntung daripada penumpang lain yang harus menunggu di stasiun kecil miskin sinyal akibat keretanya tertahan tidak bisa masuk Semarang. Saya belajar banyak, di balik tidak beruntungnya kita kalau dimaknai lagi masih ada keberuntungan yang kita miliki. Makanya, saya langsung melahap pop mie yang saya beli dari kereta restorasi saat kereta jalan karena belum makan sedari pagi.

Sebagai pembelajaran akhir, saya belajar bahwa branding yang kuat tak akan ada artinya jika kita tidak bisa berusaha yang terbaik saat terjadi krisis. Sebaik apaun PT KAI melakukan brading dengan kereta panoramic, kereta luxury, kereta priority, atau kereta mahal lain, tetapi ketika dihantam banjir dan tidak bisa dengan cekatan mengatasi krisis, rasanya banyak penumpang yang terlantar dan merasa kecewa. Untuk itulah, saya belajar bahwa kepercayaan itu mahal harganya.

1 Comments

  1. Nggak nyangka banjir semarang kemarin yang paling parah yang aku tau selama ini, bahkan nggak pernah tahu kalau semarang apakah pernah banjir separah ini atau enggak.

    sampai-sampai tempat fasilitas publik kayak stasiun bisa separah itu,transportasi jadi terganggu. Viral banget soalnya ini

    kadang kalau kita ingin melakukan sesuatu yang menurut kita "its' ok", kita bakalan "nekat" untuk ngelakuin, karena intinya kita mau melihat sendiri, menyaksikan sendiri. Dan pas udah di lokasi, ya ada hikmah juga yang bisa diambil

    ReplyDelete
Next Post Previous Post