Menghindari Sematan “Si Paling” Buat Kehidupan yang Menyenangkan

Ilustrasi. - kapanlagi.com


Namanya manusia, kadang ada saatnya butuh pengakuan.

Entah itu berupa harta, kedudukan, keahlian, prestasi, maupun lainnya. Sebenarnya sah-sah saja dan manusiawi karena sebagai manusia kita diberikan akal dan hawa nafsu sehingga memiliki keinginan tersebut. Siapa sih hari gini yang tidak ingin namanya eksis di dunia?

Saya sendiri memang sempat merasakan berbagai sematan yang sempat singgah dalam diri saya. Mulai dari blogger ahli nulis ini itu, atau sematan lain yang bisa jadi membuat saya bangga. Tiga tahun berturut-turut saya malah masuk nominasi sebuah penghargaan dalam hal reportase warga. Sampai-sampai orang yang menyebut nama saya pasti akan langsung mengasosiasikan diri saya dengan hal tersebut.

Namun, di balik itu, ada sebuah beban besar yang juga tersemat akibat berbagai label yang ditujukan pada saya. Salah satu beban yang cukup besar dan bisa membuat saya terganggu adalah saya harus terus terlihat sempurna, terutama jika berhubungan dengan sematan itu. 

Artinya, saya melakukan kesalahan atau mengunggah suatu karya yang tidak sesuai dengan ekspektasi tersebut, maka saya akan merasa tidak nyaman. Alhasil, saya melakukan kegiatan yang semestinya saya gemari menjadi beban tersendiri. Ujung-ujungya, saya malah tidak menikmati kegiatan tersebut.

Beberapa waktu lalu, saya diundang untuk berdiskusi masalah transportasi umum di sebuah perguruan tinggi. Acara ini digelar oleh sebuah himpunan mahasiswa. Sebelum acara berlangsung, ada seorang dari mereka yang memberikan flyer untuk mengonfirmasi nama dan identitas saya. Setelah saya baca, waduh panjang sekali sematan yang tertera di sana.

Yah mirip-mirip flyer seminar kebanyakan yang menuliskan pekerjaan pematerinya dengan sangat panjang. Maka, saya pun meminta izin untuk mengganti sematan yang panjang tersebut untuk ditulis hanya blogger saja.

Saya tidak ingin dianggap ada sesuatu yang besar melekat pada diri saya. Tujuan saya datang hanya ingin berbagi apa yang saya tahu dan berdiskusi bersama mengenai transportasi umum. Namanya saja diskusi, tentu anggota di dalamnya sejajar dan tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah. Jika ada yang merasa lebih tinggi, maka akan baper jika nantinya ada ketidaksepahaman mengenai apa yang sedang didiskusikan.

Untung saja, mereka mau menggantinya dan setelah saya lihat kembali, flyer tersebut tampak lebih rapi. Walau mungkin sematan pada diri saya yang paling pendek, tetapi paling tidak saya masih bisa memberi feedback pada diskusi tersebut.

Selain menyadari bahwa sematan yang ada malah membuat beban, saya juga menyadari bahwa setiap manusia nantinya akan meninggalkan sematan-sematan tersebut. Entah gelar atau kedudukan, yang jelas ketika meninggal, orang akan meninggalkan itu semua.

Sematan yang ada juga seringkali merupakan pemberian manusia dan bukan pemberian Tuhan. Artinya, senatan tersebut bersifat sementara yang bisa hilang kapan saja. Bisa beberapa saat kemudian atau nanti tidak ada yang tahu.

Saya punya teman seorang yang gemar nge-gym yang beberapa tahun lalu sering diundang untuk berbagai acara terutama yang menyangkut cara untuk menjaga kesehatan. Ia juga sering menjadi pembicara agar orang bisa terinspirasi untuk hidup sehat seperti dirinya. Sepuluh tahun lalu, ia juga pernah mengikuti sebuah kontes kecantikan pria tetapi gagal hingga final. Meski begitu, saya salut sama kegigihannya yang terus menyuarakan hidup sehat.

Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu saya bertemu dirinya dengan kondisi yang berbeda. Ia tampak kurus dan tidak lagi berbadan kekar. Ternyata, ia sudah lama tidak ngegym akibat mengalami PHK saat covid dulu. Alhasil, ia bekerja menjadi driver ojek online dan pola hidupnya menjadi tidak karuan. Dia pun mengatakan sangat kecewa karena dulu sempat aktif menjadi inisiator hidup sehat dan meminta saya tidak mengungkit saat-saat jayanya tersebut. Saya pun paham dan tidak lagi membicarakan masalah tersebut.

Namun, saya menarik pelajaran bahawa hidup dengan sematan sangatlah tidak nyaman. Walau terkesan keren, tetapi jika kita berada pada titik rendah maka seakan sematan tersebut adalah sebuah beban yang sangat besar. Untuk itulah, saya menghindari sematan "Si Paling" agar menuju hidup yang lebih menyenangkan. 

Post a Comment

Next Post Previous Post