Menata Gadang, Mempercantik Wajah Gerbang Kota Malang yang Penuh Kenangan

Beberapa angkot ngetem di dekat Pasar Gadang

“Jika engkau ingin mengenal Malang lebih dekat, datanglah ke Terminal Gadang”.


Ucapan itu keluar dari salah satu saudara saya sekitar 20 tahun lalu. Saya masih ingat kala itu ia berbincang dengan beberapa mahasiswa yang indekos untuk KKN di rumahnya. Kebetulan, ia memiliki beberapa kamar kos yang ia sewakan. Saya yang masih duduk di bangku SMP duduk bersama mereka dalam rangka mengantarkan hantaran lebaran.


Walau ada banyak pertanyaan dalam benak, akhirnya saya menyadari kebenaran ucapan saudara saya yang meninggal beberapa tahun lalu itu. Gadang adalah sebuah tempat pertemuan berbagai orang, kepentingan, dan budaya di Kota Malang. Gadang merupakan salah satu pintu gerbang Kota Malang yang seringkali diremehkan.

Dua puluh tahun lalu, saat Terminal Gadang masih berfungsi, saya selalu menantikan untuk singgah sejenak di sana. Kebetulan, rumah saudara saya tersebut berada di daerah Wagir, Kabupaten Malang. Saya dan keluarga yang tidak punya mobil menggunakan angkot untuk sampai ke rumah saudara tersebut. Dimulai dari naik angkot GML (Gadang Mergan Landungsari) lalu transit alias oper di Terminal Gadang untuk naik angdes GS (Gadang Sumbersuko).

Angkot GS merupakan angkutan pedesaan yang berwarna merah bata. Kala itu, saya selalu takjub dengan nomlekatur warna angkot yang cukup beragam di Terminal Gadang. Sepupu saya berkata, untuk angkutan di Kota Malang, maka semuanya berwarna biru. Sedangkan, untuk angkutan di Kabupaten Malang, warnanya beragam. Ada yang merah, hijau, putih, biru, kuning, dan sebagainya.

Saya takjub dengan penataan angkutan yang unik seperti itu. Apalagi. lajur angkot di Terminal Gadang saat itu tertata cukup rapi. Jadi, kami tak perlu bingung untuk berpindah jalur. Terlebih, banyak pula jalur bus menuju ke Blitar, Tulungagung, dan Dampit yang juga hilir mudik di dekat lajur angkot tersebut.

Bus-bus jurusan Dampit yang sepi penumpang

 
Salah satu kenangan saya akan Terminal Gadang adalah hadirnya pedagang asongan yang sangat banyak. Saking banyaknya, kadang sambil menunggu penumpang lain masuk ke angdes GS yang akan kami naiki, saya bisa jajan beraneka rupa. Mulai permen mint, manisan, minuman dingin, dan lain sebagainya. Pendek kata, uang bisa cepat ludes jika melakukan perjalanan naik angkutan dan oper di Terminal Gadang.

Waktu pun silih berganti dan akhirnya kejayaan Terminal Gadang sirna setelah dilakukan perpindahan pola operasi angkutan ke Terminal Hamid Rusdi. Berjarak beberapa kilometer dari Terminal Gadang, nyatanya ia tak mampu mengembalikan kejayaan Terminal Gadang. Jangankan pedagang asongan, saya tak menemukan satu pun manusia pada jam-jam tertentu di terminal itu.

Kondisi Pasar Gadang yang kumuh

 
Pada suatu akhir pekan, saya mencoba naik bus DAMRI menuju Pantai Balekambang yang rutenya melewati Terminal Hamid Rusdi. Saya melihat lajur-lajur angkot yang sepi, plafon yang kusam, dan bau anyir saat pergi ke kamar mandi. Terminal ini seperti garasi bus yang lama tak disinggahi.

Namun, saya masih menemukan keramaian di bekas Terminal Gadang dulu. Bus-bus jurusan Blitar masih ngetem untuk menurun dan menaikkan penumpang. Sopir-sopir angkot tujuan Arjosari maupun Landungsari juga masih berteriak lantang untuk mencari penumpang yang tak kunjung ada. Bus-bus bumel tujuan Dampit dan Lumajang masih berjajar dengan kondisi ringkih yang menunggu belas kasihan.

Waktu pun silih berganti dan akhirnya kejayaan Terminal Gadang sirna setelah dilakukan perpindahan pola operasi angkutan ke Terminal Hamid Rusdi. Berjarak beberapa kilometer dari Terminal Gadang, nyatanya ia tak mampu mengembalikan kejayaan Terminal Gadang. Jangankan pedagang asongan, saya tak menemukan satu pun manusia pada jam-jam tertentu di terminal itu.

Pada suatu akhir pekan, saya mencoba naik bus DAMRI menuju Pantai Balekambang yang rutenya melewati Terminal Hamid Rusdi. Saya melihat lajur-lajur angkot yang sepi, plafon yang kusam, dan bau anyir saat pergi ke kamar mandi. Terminal ini seperti garasi bus yang lama tak disinggahi.

Angkutan desa tujuan Makang Selatan juga ngetem di luar Pasar Gadang

 

Namun, saya masih menemukan keramaian di bekas Terminal Gadang dulu. Bus-bus jurusan Blitar masih ngetem untuk menurun dan menaikkan penumpang. Sopir-sopir angkot tujuan Arjosari maupun Landungsari juga masih berteriak lantang untuk mencari penumpang yang tak kunjung ada. Bus-bus bumel tujuan Dampit dan Lumajang masih berjajar dengan kondisi ringkih yang menunggu belas kasihan.

Berbagai kegiatan itu bercampur dengan hiruk pikuk Pasar Gadang yang kondisinya juga tak kalah mengenaskan. Kumuh, bau, dan becek dengan jalan yang rusak. Perpaduan yang pas untuk mengelus dada dan ingin segera angkat kaki dari sana.



Memang benar perkataan saudara saya tadi. Jika engkau ingin mengenal Malang lebih jauh, singgahlah di Terminal Gadang. Perkataan itu saya resapi sekarang dengan memaknai belum optimalnya penataan ruang di wilayah ini. Entah apa yang mendasarinya, yang jelas hampir setiap orang yang melewati Gadang akan mengucapkan sumpah serapah. Sangat berbeda jauh dengan kegembiraan yang saya rasakan 20 tahunan lalu.

Keberadaan terminal dan pasar memang akan saling berkaitan. Saya menyadari keterkaitan itu setelah mengunjungi beberapa kota yang mulai menata pasar dan terminalnya. Mereka mulai menata pergerakan manusia agar kegiatan ekonomi yang bertumpu pada pasar bisa saling terhubung baik dengan kegiatan lalu lintas manusia di terminal.

Menjadi satu-satunya penumpang

Makanya, penataan simpul-simpul berkerumunnya orang dari pasar ke terminal harus ditata sedemikian rupa. Selama ini, meski telah terbangun Terminal Hamid Rusdi, tetapi banyak sopir angkutan yang masih menaikkan penumpang di Pasar Gadang. Pergerakan manusia pun menjadi terhambat sehingga menimbulkan kemacetan. Salah satu alasannya adalah letak terminal yang jauh yang tidak terkoneksi dengan pasar membuat mereka susah untuk mendapatkan penumpang.

Dari sisi penumpang, tentu berjalan ke terminal setelah dari pasar adalah sesuatu yang mustahil. Saya membayangkan berjalan kaki sejauh itu dengan membawa belanjaan yang banyak adalah sebuah kesulitan tersendiri. Terlebih, kebanyakan penumpang yang masih setia naik angkutan umum adalah para lansia.

Saat ini, para penumpang bingung angkutan mana yang masih beroperasi. Bukan rahasia umum, banyak angkutan yang sudah gulung tikar dan digunakan untuk keperluan lain. Mulai antar jemput sekolah, warung makan, hingga tambal ban.

Padahal, sebenarnya jika ada kemauan, ada saja jalan untuk menata pergerakan manusia di tempat legendaris ini. Semisal, membuat halte untuk tempat singgah angkutan. Jadi, angkutan umum hanya berhenti beberapa saat di sekitar Pasar Gadang seperti konsep Bus Raya Terpadu (BRT).

Beberapa kota sudah melakukan hal ini. Jogja misalnya yang memiliki Halte Trans Jogja di Pasar Giwangan dan Terminal Giwangan. Pedagang dan pembeli dari Pasar Giwangan bisa naik Trans Jogja jurusan apapun ke Terminal Giwangan. Barulah mereka transit atau oper ke bus jurusan apapun sesuai tujuan mereka.

Kabupaten Banyumas dengan kota semu Purwokerto di dalamnya bahkan membangun halte di dekat Pasar Pon sebagai tempat singgah sementara Trans Jateng dan Trans Banyumas. Penumpang dari pasar tersebut bisa naik ke angkutan umum ke terminal dulu barulah mereka berpindah ke moda transportasi lainnya. Artinya, konektivitas antara pasar dan terminal tidak terputus.

Sebuah angkot yang ditinggal pemiliknya entah ke mana.

Saya yakin, jika masalah transportasi di Gadang ini bisa ditata lagi, maka kejayaan daerah ini akan kembali diraih. Orang dari luar Malang akan menjadikan Gadang sebagai destinasi belanja dan kuliner. Sebelum mereka meninggalkan Malang untuk kembali ke kota asal, mereka bisa berbelanja dan kulineran dulu di Pasar Gadang.

Keyakinan ini bisa saya pegang karena saya pernah melihat beberapa video di Tik Tok mengenai keberadaan sebuah dapur rahasia di Pasar Gadang. Dapur ini letaknya tersembunyi diantara lapak pedagang. Mereka yang bisa masuk adalah mereka yang sudah membeli sebuah produk masakan. Nah, di dalam dapur rahasia itu, ada seorang chef yang akan memasak makanan istimewa untuk pembeli. Video ini banyak diunggah oleh Tik Tokers Malang dan mendapatkan atensi yang cukup tinggi.

Dari video tersebut, saya sadar bahwa Pasar Gadang sebenarnya memiliki potensi tinggi untuk dikembangkan. Banyak orang yang penasaran dengan dapur rahasia tersebut dan akhirnya berkunjung ke Pasar Gadang. Apalagi, jika mereka bisa merasakan masakan khas Malang seperti orem-orem, rujak bakso, dan lain sebagainya, tentu akan menjadi cerita positif tersendiri.

Konektivitas angkutan tak melulu soal transportasi umum. Terminal Hamid Rusdi yang bisa dibilang cukup terbengkalai semestinya dapat dijadikan juga Park and Ride atau tempat parkir mobil dan motor. Jadi, pengunjung dari luar Kota Malang bisa memarkirkan kendaraannya di sana dilanjutkan dengan naik angkutan umum ke Pasar Gadang. Konsep Park and Ride ini sudah diadopsi di beberapa kota untuk menjangkau pemilik kendaraan pribadi yang berniat mengakses angkutan umum dengan lebih mudah.

Tentu, berbagai ide ini akan sulit diwujudkan jika tidak ada kolaborasi dari berbagai pihak. Makanya, penataan Pasar Gadang termasuk angkutan umum di dalamnya adalah urgensi dari pembangunan kota ini. Urgensi untuk mengubah sebuah kekurangan menjadi kelebihan. Kalau penataan ini bisa terwujud, saya yakin perkataan saudara saya memang benar.

Jika kamu ingin melihat wajah Malang, datanglah ke Terminal Gadang. Kamu akan menemukan wajah Malang yang tertata rapi, mengesankan, membuat siapa saja betah dan kangen untuk mengunjunginya. Sayangnya, wajah itu belum terwujud hingga kini. Gadang masih menjadi tempat yang hanya digunakan untuk singgah dan membuat orang ingin segera berlalu darinya.

1 Comments

  1. Tetap semangat, para pejuang hidup mesti tengah menghadapi gempuran perubahan jaman.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post