Kenapa Biaya UKT PTN Makin Gak Masuk Akal?

Ilustrasi. -https://lpmopini.online/

 

Beberapa waktu terakhir, lini masa media sosial saya penuh dengan cuitan mengenai Uang Kuliah Tunggal (UKT).

UKT adalah biaya pendidikan yang harus dibayarkan oleh mahasiswa tiap semester. Kalau zaman dulu sih namanya SPP. Bedanya, jika SPP zaman dulu dipukul rata nominalnya tiap mahasiswa kecuali bagi yang masuk lewat jalur Mandiri, maka UKT besarnya disesuaikan dengan kemampuan orang tua/wali mahasiswa.

UKT pun dikelompokkan menjadi beberapa jenis sesuai dengan tingkatan ekonomi orangtua. Ada yang paling murah hingga yang paling mahal. Alhasil, setiap mahasiwa akan membayar UKT tiap semester berbeda dengan mahsiswa lain meski masuk dari jenis penerimaan reguler.

Nah, keluhan soal UKT ini mulai muncul tatkala mahasiswa dari kelas menengah mendapatkan nilai UKT yang sangat tinggi. Bahkan, ada yang nominalnya belasan juta rupiah. Padahal, orang tua/wali yang menanggung mereka tidak memiliki pendapatan sebesar itu tiap bulannya. Belum lagi biaya yang harus ditanggung oleh mahasiswa jika berasal dari perantauan. Contohnya biaya kos, transportasi, makan, dan lain sebagainya. Tentu, banyak mahasiswa yang mengeluh dengan UKT yang tinggi ini.

Tidak hanya itu, beberapa kampus malah menaikkan UKT dengan nominal yang cukup tinggi. Universitas Jendral Soedriman (Unsoed) Purwokerto misalnya. UKT kampus ini sudah mencapai belasan juta rupiah dan langsung diprotes oleh mahasiswanya. Mereka beralasan bahwa kenaikan yang cukup tinggi ini membuat banyak mahasiswa yang tak sanggup membayar terlebih bagi yang orang tuanya masih memiliki tanggungan banyak.

Kisah unik lain terjadi pada Institut Teknologi Bogor (ITB). Kampus top tanah air ini malah dikabarkan memberikan solusi dengan menggandeng pihak ketiga agar mahsiswa bisa mencicil UKT. Namun, cicilan ini skemanya mirip dengan pinjaman online (pinjol) dengan bunga yang cukup tinggi dan malah membebani mahasiswa. Contohnya, jika UKT yang dibayarkan sebesar 12 juta rupiah, maka dengan skema cicilan, total yang dibayarkan bisa mencapai 15 juta rupiah. Ada selisih 3 juta yang jumlahnya lumayan jika digunakan untuk biaya kos atau biaya lain.

Skema ini juga ditentang habis-habisan oleh banyak pihak. Mereka merasa ITB telah melakukan komersialisasi pendidikan. Pihak ITB pun menjawab bahwa skema tersebut sesuai dengan aturan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) yang telah diawasi OJK. Jadi, ITB menyerahkan sepenuhnya kepada mahasiwa apakah mau atau tidak melakukan skema pembayaran dengan sistem seperti itu.

Memang, jika sesuai aturan dan prinsip perbankan, praktik ini sah-sah saja. Namun, jika mengacu pada nurani dan tujuan perguruan tinggi didirkan, rasanya praktik tersebut sangat tidak manusiawi. Apa bedanya ITB memfasilitasi rentenir pada mahasiswanya? Padahal, zaman saya kuliah dulu, ada keringanan untuk mencicil biaya kuliah tetapi tidak berbunga. Walau banyak tentangan, tetap saja ada mahasiswa yang mau membayar dengan skema seperti itu karena memang kepepet.

Tingginya UKT kampus negeri saat ini tak lepas dari statusnya sebagai PTN-BH atau PTN yang berbadan hukum. Status ini membuat subsidi pemerintah kepada PTN menjadi berkurang. PTN dipersilakan untuk mencari sumber dana lain untuk biaya operasionalnya. Salah satu sumber utama ya dari mahasiswanya. Makanya. Jangan heran jika saat ini, PTN sama mahalnya dengan PTS. Dulu, adagium kuliah di swasta mahal karena tidak dibiayai negara memang benar. Sekarang, PTN juga bernasib hampir serupa. Negeri rasa swasta.

Tingginya biaya UKT juga membuat banyak lulusan SMA/SMK memilih tidak melanjutkan kuliah. Walau peminat PTN masih sangat tinggi, tetapi ada kecenderungan bahwa mereka tidak akan sanggup kuliah dengan biaya sebesar itu. Mau mengajukan beasiswa seperti bidik misi juga nanggung karena orang tua/wali mereka dianggap mampu.

Beberapa kolega yang anaknya baru lulus SMA/SMK saya malah banyak yang memilih untuk berkuliah di swasta atau mengikuti kursus. Yang penting segera dapat kerja dan tidak menjadi beban orang tua. Buat apa kuliah mahal-mahak toh nantinya saat lulus juga susah dapat kerja.

Dalam sebuah postingan yang seliweran di linimasa Twitter, ada seorang mahasiswa jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) yang mengeluh UKT yang harus dibayarkan sekitar 40 juta rupiah. Postingan itu pun langsung membuat heboh karena banyak yang mempertanyakan mengapa jurusan PGSD kuliahnya bisa semahal itu. Apa iya banyak praktik yang membutuhkan biayta mahal seperti jurusan Kedokteran?

Ada beberapa orang bahkan mengomentari kuliah semahal itu ujung-ujungnya jadi guru honor dengan gaji 500 ribu rupiah. Belum lagi beban administrasi dan semacamnya yang seakan membuat kuliah mahal menjadi tidak ekuivalen dengan apa yang dihasilkan nanti. Iya sih, menjadi guru SD pahalanya banyak tapi apa iya dengan biaya hidup yang mahal sekarang masih bisa digaji murah? Mana kuliahnya mahal lagi.

Alhasil, jika masalah UKT ini terus terjadi, maka akan banyak anak bangsa berpotensi masuk PTN menjadi mundur. PTN pun hanya diisi oleh mereka yang punya uang dan kuasa. PTN akan menjadi semacam marketplace bagi mereka yang bisa bayar banyak.

Di tengah polemik tersebut, saya sangat beruntung masih bisa kuliah di PTN dengan harga murah. Saya hanya perlu membayar 650 ribu per semester dan itu pun kadang mendapat beasiswa PPA. Adik saya sendiri berkuliah di PTS dengan biaya yang lumayan mahal tetapi masih terjangkau. Kalau tak salah SPP-nya per semester sekitar 4 juta rupiah. Namun, fasilitas yang didapatkan oleh adik saya harus saya akui jauh di atas saya. Meski ia gagal masuk PTN dengan berbagai tes, tetapi ia sangat happy dan menikmati kuliah di swasta.

Jadi, kuliah di PTN saat ini menurut saya bukan lagi kebanggaan tetapi malah jadi beban. Iya sih, bisa bangga masuk PTN tetapi kalau tiap semester terbebani dengan UKT apa iya masih bisa kuliah dengan nyaman?

 

Post a Comment

Next Post Previous Post