Pertempuran Ganas Demi Periuk Nasi di Terminal Bungurasih

Beberapa orang yang dikenal sebagai 'awu-awu' mengerubungi calon penumpang di pintu keberangkatan bus antar kota di Terminal Bungurasih. Tampak beberapa petugas berseragam hanya melihat kegiatan tersebut.

Siapa sih yang tidak kenal Terminal Bungurasih?

Terminal Tipe A ini menjadi salah satu terminal tersibuk di Indonesia bahkan pernah digadang-gadang sebagai terminal paling sibuk se-Asia Tenggara. Bahkan, ada juga yang mengatakan sebagai terminal bus tersibuk di Asia karena pergerakan manusia yang begitu tinggi. 

Terminal yang sebenarnya memiliki nama resmi Terminal Purabaya ini juga merupakan salah satu terminal yang cukup unik. Nama Purabaya berasal dari kata Pura yang berarti Gapura dan Baya yang berarti Surabaya. Jika disatukan, maka Purabaya adalah pintu gerbang Kota Surabaya.

Meski banyak orang mengira bahwa terminal ini berada di Surabaya, ternyata letak terminal ini berada di Sidoarjo. Tepatnya, berada di Desa Bungurasih, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo. Atas alasan ini, banyak orang lebih familiar menyebut terminal ini sebagai Terminal Bungurasih.

Walau berada di wilayah Sidoarjo, tetapi terminal ini dimiliki oleh Pemkot Surabaya yang dikelola oleh Badan Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Wilayah XI Jawa Timur. Klaim kepemilikan terminal ini milik siapa sempat menjadi bahan bercandaan antara orang Surabaya dan Sidoarjo.

Klaim wilayah Terminal Bungurasih tampak dalam mural. Ikon Surabaya dengan tulisan Sidoarjo
  
Lantaran, letaknya yang sangat dekat dengan Kota Surabaya membuat orang Surabaya merasa Terminal Bungurasih milik mereka. Sementara, secara adminisatrasi, orang Sidoarjo tetap bersikukuh bahwa Terminal Bungurasih adalah bagian tak terpisahkan dari Sidoarjo.

Perebutan klaim wilayah ini nyatanya berlanjut ke perebutan pangsa pekerjaan demi sesuap nasi di sini. Terminal Bungurasih menjadi sebuah area pertempuran berbagai kepentingan. Tidak hanya bagi pengelola angkutan umum, tetapi para calo, porter, tukang ojek, pedagang makanan, petugas Dishub, pegamen dan pengemis, dan tentunya para pekerja yang singgah di terminal ini.

'Awu-awu', yang sering disangka sebagai calo mencari penumpang agar target terpenuhi


Saking sengitnya pertempuran tersebut, banyak orang yang mengatakan terminal ini merupakan salah satu atau bahkan terminal paling ganas. Ia menjadi momok bagi para penumpang yang baru pertama kali singgah di terminal ini untuk naik bus ke kota lain. Bungurasih menjadi tempat yang paling dihindari bagi mereka yang tidak ingin uangnya terbuang sia-sia.

Mengapa demikian?

Terminal Bungurasih terkenal dengan calonya yang sangat ganas dan tak manusiawi. Mereka tak hanya sekadar menawarkan tiket dengan harga tak masuk akal kadang juga memaksa. Kadang, penumpang yang sedang berada di sana ditanya tujuannya mau ke mana. Kalau mereka menjawab, maka mereka akan langsung ditawarkan tiket dengan harga tak wajar. Mereka disuruh membayar dulu padahal seharusnya pembayaran dilakukan di dalam bus.

Kalau mereka menolak, maka tak segan mereka akan mendapatkan intimidasi dan ancaman agar mau membayar. Kejadian ini terus berulang dan sering ramai di media sosial. Meski banyak yang mengecam, tetap saja hal ini terus berulang. Bahkan, banyak orang yang menganggapnya hal itu sudah biasa dan wajar terjadi di terminal ini.

Tips utama aman dari calo adalah segera menuju lajur keberangkatan bus dan bayar tiket di dalam  bus.


Sebagai pekerja yang hampir seminggu 2-3 kali bolak-balik Malang Surabaya, mau tak mau saya harus melewati terminal ini. Saya lebih memilih naik bus daripada kereta api karena lebih cepat dan fleksibel. Adanya halte Suroboyo Bus, Trans Semanggi, dan Trans Jatim juga membuat saya lebih irit daripada naik ojek. Alhasil, saya sudah cukup kebal dengan rayuan maut atau intimidasi dari para calo.

Biasanya, saya mengenakan headset saat baru turun dari bus untuk pindah bus. Saya melangkah dengan santai dan mantap sambil bernyanyi lagu yang sedang saya putar. Ketika ada yang bertanya tujuan saya, maka saya akan menjawab Malang, Gresik, atau Darjo jika saya baru turun dari Suroboyo Bus. Jika saya baru turun dari bus AKDP, maka saya tinggal menjawab naik “Bus Tayo”, sebutan bagi Suroboyo Bus.

Penumpang menunggu Bus Trans Jatim di Halte Terminal Bungurasih. Kini, bus Trans Jatim arah Mojokerto harus keluar dari terminal karena penolakan sopir angkot. Tinggal bus arah Gresik dan Porong.


Langkah mantap dan cuek menjadi kunci untuk bisa terhindar dari calo. Jika ingin sejenak rehat untuk melihat suasana, maka ruang tunggu keberangkatan bus di lantai dua adalah yang bisa dipilih. Di sini, calo mulai berkurang jumlahnya karena ada petugas Dishub yang berjaga. Akses mereka terbatas untuk beroperasi di tempat tersebut. Apalagi, saat ini pihak pengelola sudah memasang pintu gate yang berfungsi untuk menyaring siapa saja yang boleh masuk ruang tunggu tersebut.

Makan pop mie adalah salah satu cara untuk menikmati Bungurasih walau kursi ruang tunggu hampir copot

Di ruang tunggu tersebut, kita bisa makan dan minum, jajan, salat, buang air besar dan kecil, dan tentunya salat. Dari balik kaca, kita bisa melihat berbagai kegiatan orang-orang yang sedang mencari sesuap nasi. Mulai dari awu-awu (kernet dan petugas PO) yang sedang berteriak, penumpang yang berlarian, pengamen yang sedang membidik bus sebagai singgahan, hingga para pedagang asongan dengan barang dagangan begitu banyak.

Tempat menunggu ojek online motor di dalam terminal. Kini penumpang bisa memesan ojek online dari dalam terminal. Beberapa kali tempat ini dijaga ketat oleh petugas keamanan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

Jangan tanyakan apakah akan terlihat calo di sana karena mereka tidak beroperasi secara terang-terangan. Yang pasti, mereka tidak mengenakan seragam, duduk di tempat penumpang baru turun dari bus, dan matanya selalu awas dengan keadaan. Keberadaan mereka bisa menyamarkan diri sebagai tukang ojek, pedagang asongan, bahkan penumpang. Mereka dengan mudah mengelabuhi petugas Dishub.

Para petugas berseragam yang terlihat gagah tetapi tak berdaya dengan keberadaan para calo atau mereka yang tak taat aturan. Mereka yang masih terlihat sangat muda yang tak kuasa menegakkan aturan demi kenyamanan penumpang. Bahkan, saya pernah melihat mereka digertak balik oleh seorang oknum awu-awu karena meminta bus yang tak segera keluar dari terminal untuk menjauh. Dengan terpaksa, oknum tersebut mundur teratur dan tak berani menjalankan tugasnya.

Petugas yang tak berdaya menegakkan aturan di Terminal Bungurasih. Jumlah yang jauh lebih sedikit dan mental yang belum siap membuat mereka sering digertak balik oleh calo atau awu-awu.

Berbeda dengan petugas stasiun kereta api yang sangat tegas menegakkan aturan, mereka seakan tak bertaji. Makanya, saya tidak terlalu menikmati suasana Terminal Bungurasih. Saya pun memaksimalkan waktu transit seefektif dan seefisien mungkin. Ritual yang saya lakukan biasanya hanya salat, buang air kecil, membeli air mineral atau pop mie jika belum makan, dan tentunya menyiapkan uang pas untuk naik bus.

Pihak Dishub memasang pintu gate sebagai upaya untuk menertibkan lalu lintas penumpang. 

Kalau di stasiun, saya bisa sejam sebelum kedatangan kereta sudah tiba. Saya biasanya melakukan ritual memotret kereta api, bangunan stasiun, atau menikmati suasananya yang menyenangkan. Kadang, satya berpikir kapan ya bisa menikmati Terminal Bungurasih ini padahal dari arstekturnya cukup megah dan kekinian. Apalagi, ada banyak spot-spot menarik seperti garasi bus yang bisa menjadi kenangan orang saat baru pertama kali berkunjung ke sini.

Semoga saja dengan adanya penataan berupa mesin gate yang baru dipasang ini menjadi sebuah awal untuk menata Terminal Bungurasih. Namanya pintu gerbang sebuah kota, makai akan menjadi identitas tak terpisahkan meski bukan berada di wilayah kota tersebut. Sebuah prestasi akan tercetak jika bisa membuat orang bahagia berada di sini. Bukan rasa takut, tertekan, atau cemas.

Post a Comment

Next Post Previous Post