![]() |
Ilustrasi |
Beberapa waktu yang lalu, saya melihat sebuah podcast yang mengundang seorang influencer transgender asal Surabaya, Mbak Heri Depari.Meski pembicaraan di dalam podcast tersebut ditujukan untuk dewasa dan banyak sekali kata makian khas Surabaya, tetapi bagi saya podcast tersebut sangat menarik. Selain mengulik kisah Mbak Heri sehingga ia memutuskan untuk menjadi waria, podcast tersebut juga memaparkan kisah hidup Mbak Heri dari kecil hingga besar.
Ada satu kisah yang membuat saya tergelitik adalah kemiskinan ekstrem yang melanda kehidupan keluarganya. Ia pernah diusir dari kontrakan dan pernah pula tidur di tenda pinggir jalan bersama keluarganya. Pernah pula dititipkan ke rumah teman orang tuanya, smeentara orang tuanya tidur di pinggir jalan.
Kisah ini menjadi salah satu khas potret buramnya kehidupan kota besar seperti Surabaya hingga sekarang. Saat kebutuhan dasar berupa rumah belum mampu dipenuhi oleh banyak warga, terutama para pendatang yang tinggal di kota besar.
Menurut beberapa peneliti, kota besar yang dikendalikan oleh kaum kapitalis, kaum miskin sering hanya berfungsi sebagai suportif sekunder. Artinya, mereka hanya sebagai pasokan tenaga kerja yang murah tetapi tidak mempunyai kekuatan untuk sekadar hidup layak.
Dalam perkembangan kota besar, penetrasi kekuatan komersial dan pembangunan fisik sebuah kota di satu sisi berhasil meningkatkan angka pertumbuhan kota tersebut. Kota tersebut juga makin marak dan berkembang. Namun, kebijaksanaan untuk terus meningkatkan pertumbuhan kota ini juga berdampak pada kehidupan masyarakat informal yang kurang menguntungkan.
Mereka seakan dilema untuk meninggalkan kota dan mencari tempat tinggal yang dekat dengan pekerjaan mereka meski harus hidup tidak layak. Penetrasi dan campur tangan kekuatan komersial juga menghancurkan kesempatan sektor-sektor miskin kota untuk tetap survive. Atas nama keindahan dan kebersihan, sektor informal harus minggir dan berusaha semaksimal mungkin untuk mencari tempat yang baru.
Jujur, saya agak ngenes ketika Mbak Heri bercerita mengenai pengalamannya selama 7 bulan tinggal di sebuah tenda terpal di dekat Stasiun Gubeng. Bagi saya ini benar-benar kemiskinan ekstrem dan uniknya, ia dan keluarganya menjalani hal tersebut dengan have fun. Yah bagaimana lagi, kondisinya memang begitu. Pengalaman pahit ini membuatnya punya mental kuat dan terus bertahan sehingga sekarang menjadi influencer cukup sukses yang tiap hari wajahnya sering muncul di layar FYP Tiktok berkat kepiawaiannya menghibur orang.
Ada satu pelajaran yang bisa saya petik lagi dari kisah Mbak Heri. Meski ia kini sudah bisa dibilang terlihat sukses, tetapi ia tidak mau lupa diri. Ia benar-benar mengontrol keuangannya meski mendapatkan banyak job endorse. Ia tidak lupa langsung menjadi hedon karena setahap demi setahap menata keuangannya.
Ada satu cerita yang membuat saya salut yakni ia amat anti membeli barang secara kredit. Meski sebenarnya mampu membeli mobil secara kredit, tetapi ia tak mau melakukannya hanya demi gengsi. Ia mengatakan lebih baik berpikir mengumpulkan untuk membeli rumah yang layak karena masih sekarang ia juga masih mengontrak. Kadang, kemiskinan ekstrem yang pernah memang membuat orang berpikir dua kali untuk menghabiskan uang dalam waktu sekejap meski mereka kini hidup lebih layak.
Kembali lagi ke masalah kemiskinan di Kota Surabaya dan kaitannya dengan masalah rumah, ternyata dulu Pemkot Surabaya pernah mengeluarkan semacam surat yang bernama Surat Ijo. Surat ini merupakan Surat Kepemilikan Tanah Sementara bagi warga yang tinggal di lahan milik Pemkot. Surat ini ditulis di sebuah kertas berwarna hijau sehingga sering disebut Surat Ijo.
![]() |
Surat Ijo. - Suara surabaya |
Dengan adanya Surat Ijo, maka warga diperbolehkan tinggal di lahan milik Pemkot Surabaya. Namun, jika Pemkot ingin menggunakan lahan tersebut, mereka harus mau untuk pindah. Mereka juga dilarang untuk memindahtangankan Surat Ijo kepada orang/pihak lain. Jika mereka pindah dari lahan tersebut, maka mereka wajib menyerahkan Surat Ijo ke Pemkot Surabaya kembali. Yah, konsepnya mirip dengan tanah kekancingan di Yogyakarta.
Uniknya, luas area tanah milik Pemkot yang digunakan warga dengan Surat Ijo ini luasnya tak main-main. Ada sekitar 12.421.023 meter persegi atau sekitar 30% dari luas Kota Surabaya. Wilayah Kecamatan Gubeng yang menjadi tempat tinggal Mbak Heri menjadi wilayah dengan status Surat Ijo terbanyak dibandingkan kecamatan lainnya.
Selain adanya Surat Ijo, permasalahan tanah di Kota Surabaya juga termasuk klaim yang tumpang tindih antara satu pihak dengan pihak lain. Tak heran, Cak Armudji, wakil walikota Surabaya saat ini hampir setiap hari membuat konten untuk menyelesaikan masalah warga yang bertikai soal tanah. Ada saja masalah yang harus diselesaikan, kebanyakan soal tanah yang digunakan untuk jalan umum. Rasanya hampir tak ada jengkal tanah di Surabaya yang tak bermasalah jika setiap hari melihat konten Cak Armudji dengan konflik warganya yang tiada akhir.
Seringkali, saat konflik tanah terjadi, maka kaum-kaum marjinal yang akan kalah. Mereka pun harus rela angkat kaki dari tempat tinggalnya dan mencari tempat baru. Sebuah paradoks di perkotaan yang setiap hari tiada ujungnya.
Tags
Catatanku