Unpopular Opinion Tentang Beberapa Kota di Indonesia (Bagian 2)


Saat menulis unpopular opinion tentang beberapa kota di Indonesia kemarin, ada yang protes mengapa beberapa kota besar kok belum dimasukkan. 

Tenang, kali ini pada bagian kedua atau terakhir, saya akan memasukkan beberapa kota yang belum masuk daftar. Beberapa kota adalah kota yang saya tinggali sehingga butuh ruang yang cukup banyak.

Jakarta

Bagi saya, Jakarta adalah kota yang ngangenin tapi menakutkan. Ya, saya pernah dijambret di Jakarta dan membuat saya trauma untuk ke sana lagi. Kota ini tidak baik disinggahi bagi siapa saja yang baru pertama keluar kota, terutama kota besar. Namun, bukan hanya itu, keacuhan sebagian warganya membuat saya mengelus dada, meski tidak semua.



Banyak yang mengatakan biaya hidup di Jakarta mahal, bagi saya masih mahalan Bandung, terutama makanannya. Saya masih mendapati makanan dengan harga 10 ribuan. Ya sebut saja bubur ayam, ketoprak, dan lain sebagainya. Untuk ukuran 2019, saya beneran masih mendapatkannya.

Kalau ke Jakarta pokoknya harus siap fisik dan mental. Siap berlari untuk mengejar transportasi umum dan berdesakan dengan banyak orang. Bertanya pada petugas dan membaca peta yang tersedia adalah kunci karena kata saya tadi, kota ini terlalu acuh bagi pendatang.

Entah kenapa, saya jatuh cinta pada Gandaria City (Gancit). Mall ini menurut saya paling nyaman seantero DKI Jakarta. Ada bagian elit dan ada bagian sulit. Kalau tak ke Gandaria, tentu bagi saya FX Sudirman adalah yang favorit. Bukan hanya karena JKT48, tapi lebih ke akses transportasi umum dan wisata populer lain, GBK misalnya.

Oh ya, kalau pesan ojol, lebih baik minta saja jalan utama jika driver tidak begitu paham jalan. Saya pernah kena driver yang gak begitu hafal akhirnya nyasar di sekitar Mataraman. Aduh, pusingnya bikin tujuha keliling karena saya harus melewati gang kelinci.

Surabaya

Opini pertama kota ini adalah mengalami downgrade setelah peninggalan Bu Risma dari sisi tata kota, kecuali transportasi umumnya. Saya menemukan banyak fasilitas umum peninggalan Bu Risma yang sudah mulai rusak. Lift JPO misalnya.

Taman kota dan beberapa fasilitas lainnya juga mengalami penurunan dalam hal pengelolaan. Memang, dalam sisi transportasi umum, kota ini sudah menata diri. Namun, tetap saja masih tertinggal dibandingkan kota besar lain, seperti Jakarta dan Semarang.



Disparitas antara wilayah barat-tengah dan timur-utara kota ini begitu menganga dan memprihatinkan. Saya yang terbiasa dengan kehidupan teratur di Surabaya Barat sering shock jika bepergian ke wilayah Surabaya Utara. Bukan rasis, tapi memang begitulah keadaannya. Kalau di Surabaya Timur, saya kadang lebih takut begal yang sering mengintai kapan saja saking sepinya daerah ini.

Walau masih banyak kekurangan , tapi saya suka Surabaya yang ramah kantong masalah makanan. Kota ini memang kota besar dan sering dikatakan biaya hidupnya tinggi. Namun, saya masih bisa makan nasi bungkus dengan harga 6-8 ribuan di pinggir jalan atau warkop STK. Diberkatilah warga Surabaya yang dipenuhi STK dengan aneka makanan dan minuman yang murah.

Mall di Surabaya bagi saya menyenangkan, tetapi tidak dengan lahan parkirnya. Ampun, rata-rata tempat parkir motornya jauh, apalagi Pakuwon Mall/PTC. Saya sampai gempor jika naik motor bersama teman dan jalan-jalan di sana. Lebih baik naik Trans Semanggi arau wira-wiri karena haltenya lebih dekat dengan pintu masuk.

Malang


Kota ini memiliki penduduk yang banyak overproud, tapi anti kemajuan. Bagaimana tidak, ketika ada terobosan soal kemajuan kota, semisal transportasi umum, maka mereka akan mengeluhkan keberadaannya. Ada juga yang meminta untuk tidak datang ke Malang jika komplain soal Malang. Lah?

Jika berada di pinggiran kota, maka siapkan tempat evakuasi selama bulan Agustus. Lantaran, hampir setiap hari ada saja karnaval sound horeg yang digelar. Yah meski berada di wilayah kabupaten, tetapi tetap saja terdengar sampai wilayah kota, apalagi di daerah perbatasan.




Kota ini juga sedang membangun daerah wisata miskin identitas bernama Kayutangan. Entah apa yang akan dikonsep sama pemkot, yang jelas sebagai warga Malang saya sudah muak. Saya tidak ke sana, tapi kena getahnya karena harus berputar-putar karena rekayasa jalan. Demi satu tempat yang ya begitulah, maka tempat lain seakan menjadi anak tiri.

Kalau ke Malang, lebih baik di rumah/penginapan saja saat akhir pekan. Asli, kalian bakal misuh-misuh kena macet di jalanan. Parahnya. Macetnya tidak hanya dijalan utana, tapi jalan alternatif dan gang-gang kecil. Rumah saya yang berada di jalan alternatif juga selalu macet di akhir pekan sampai sampai mau ke minimarket saja susahnya minta ampun.

Malang sudah tidak sedingin dulu, jadi jangan tergiur dengan romantisme Malang. Yang masih dingin itu ya Kota Batu dan sebagian Kabupaten Malang di daerah pegunungan. Oh ya, jarak daerah kota dan pantai masih jauh lo ya, masih 2 jaman perjalanan. Jangan berpikir dekat seperti dari Jogja ke Parangtritis.

Itu saja mungkin beberapa opini soal kota-kota di Indonesia. Ada yang mau menambahkan?

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya