Unpolular Opinion Tentang Beberapa Kota di Indonesia (Bagian 1)


Beberapa waktu lalu, jagad Twitter alias X diramaikan oleh utasan unpopular opinion menegnai sesuatu


Entah penyanyi, aktor/aktris, politisi, dan lain sebagainya. Ada pula utasan yang membuat unpopular opinion tentang sebuah kota. Jujur, utasan ini lebih banyak menjatuhkan apa yang sedang diperbincangkan. Namanya saja unpopular opinion, pasti orang yang membuat opini berdasar pengalama pribadi yang seringkali berbeda dengan orang lain.

Nah, kali ini saya akan membuat unpopular opinion mengenai beberapa kota yang pernah saya singgahi. Opini ini bisa bersifat sangat subyektif sepanjang pengalaman saya. Jadi, kadang bisa berbeda dengan apa yang Anda rasakan atau alami.

Yogyakarta


Bagi saya kota ini sudah cukup untuk dijadikan tujuan wisata. Artinya, jika ada uang atau waktu lebih, maka sebaiknya pergi ke kota lain. Selain kemacetan, saya melihat Jogja semakin luntur konsep wisata budayanya. Pengembangan wisata lebih banyak kepada wisata hits kekinian dengan harga yang relatif mahal.

Padahal, banyak kampung-kampung budaya yang sebenarnya bisa digali untuk menarik wisatawan. Kegiatan walking tour di beberapa kampung wisata masih kalah jauh dengan wisata hits yang mulai merajalela. Ada sekali banyak kampung wisata yang sangat asyik untuk ditelusuri, mulai Kauman, Gunungketur, Rejowinangun, dan lain sebagainya.

Banyak kampung yang asyik dijelajahi dengan jalan kaki


Ada banyak wisata kuliner yang ramai dan viral, tapi bagi saya biasa saja. Saya lebih memilih kuliner di pinggiran kota karena banyak hidden gem yang masih belum terjamah dan tidak berniat saya publikasikan karena masih murah dan enak. Persewaan motor di bagian selatan kota menurut saya jauh lebih murah jika dibandingkan di dekat stasiun atau Malioboro, begitu pula penginapannya.

Solo

Menurut saya penginapan di Solo terlalu mahal untuk bisa dikatakan penginapan di kota wisata. Makanya, banyak orang yang memilih menginap di Jogja dan naik KRl untuk jalan-jalan ke Solo. Sebenarnya, kita hanya perlu modal kartu tol dengan saldo cukup untuk berjalan-jalan ke kota ini karena armada BST cukup banyak dan tepat waktu.

Cukup naik BST jika jalan-jalan ke Solo


Bukan selat, sebenarnya makanan favorit saya di kota ini adalah warung malam dengan aneka lauk. Makanya, saya selalu menyempatkan kulineran malam di beberapa tempat seperti Nonongan untuk bisa makan dengan lahap dan murah.

Di beberapa tempat, minimarket seperti alfamart dan indomaret cukup sulit ditemui. Namun, warung kelontong yang cukup banyak bisa jadi penolong. Sejak ramai di media sosial, saya tidak lagi melihat wayang orang Sriwedari karena jumlah penonton yang membludak dan mereka banyak yang tidak niat menonton wayang sehingga mengganggu konsentrasi penonton lain.

Semarang

Hindari ke kota ini saat musim hujan tiba atau Anda akan terkena bencana banjir parah. Saking parahnya, kita tidak bisa ke mana-mana bahkan untuk cari makan sekali pun. Jika ingin naik transportasi umum, maka Stasiun Poncol menjadi alternatif utama untuk turun jika memungkinkan karena lebih banyak rute yang melintas di kota ini.

Meski panas, menjelajahi Semarang di musim kemarau adalah kunci


Dibandingkan Solo dan Jogja, harga makanan di sini jauh lebih murah. Ada banyak warung nasi yang menjual nasi bungkus dengan harga 10 ribuan dan nasi kucing 2 ribuan. Sayangnya, banyak warung makan berdiri di dekat selokan yang mampet sehingga lebih baik membungkusnya dan memakannya di penginapan.

Jika tidak ada keperluan, hindari bepergian setelah jam 10 malam, terutama di Semarang Utara. Meski banyak gangster yang meresahkan, tapi orang Semarang aslinya baik-baik dan sangat membantu pendatang. Bagi yang pertama kali ke sini, jangan kaget jika kota ini terdiri dari dua bagian wilayah yang sangat kontras, yakni Semarang Bawah dan Semarang Atas.

Bandung


Kalau tidak bersama keluarga yang membiayai saya jalan-jalan, rasanya saya malas ke kota ini. Demi apa, harga makanan dan minuman di sini bagi saya sangat mahal. Saya pernah beli nasi kuning satu porsi dengan lauk telur harganya 15 ribu rupiah. padahal , saat itu masih tahun 2017. Jajanan di sini enak-enak memang, tapi cukup menguras kantong.

Harga makanan dan minuman di Bandung tidak ramah kantong


Beberapa kali saya melihat sopir angkot yang mabuk mengendarai kendaraannya di jalan. Seakan hal biasa yang sering saya lihat di serial Preman Pensiun. Meski ruwet dan macet, tapi saya suka dinginnya kota ini yang masih lebih dingin daripada Malang.

Saya tidak tahu, para pria di kota ini kenapa hobi sekali memelihara burung dara. Bahkan, di suatu lapangan, saya melihat banyak sekali anak-anak, remaja, dan bapak-bapak bermain burung dara. Bagi saya kota ini adalah Malang versi jumbo.

Purwokerto

Meski belum berstatus kota, bagi saya kota ini adalah kota impian yang bisa saya huni. Ke mana-mana tidak jauh karena ukuran kotanya tidak terlalu besar. Ada Trans Banyumas yang siap mengantar saya hingga malam. Makanannya lumayan enak dan harganya terjangkau. Wisatanya pun banyak dan bagi saya cukup murah.

Kalian harus terbiasa ngapak jika ke Purwokerto

Satu hal yang unik dari kota ini adalah dari bahasa yang digunakan penduduknya. Bukan rasis, tapi saya tidak begitu paham bahasa ngapak sehingga saya sering miskomunikasi. Kadang, saat saya mencoba berbicara dengan bahasa Indonesia, beberapa diantara warga kota ini masih menggunakan bahasa ngapak sehingga saya harus mencerna agak lama.

Kelemahan lainnya tidak ada penginapan murah yang benar-benar di tengah kota. Kebanyakan penginapan murah di kota ini berada di dekat Baturraden. Ada beberapa penginapan scam yang sering ditemui, yakni kos-kosan yang ala kadarnya dan kadang sudah ditepati, tetapi masih dijual di aplikasi.

Cirebon

Bagi saya, kota ini adalah kota yang benar-benar sayang untuk tidak dikunjungi. Ada banyak tempat sejarah seperti keraton yang tidak banyak orang tahu. Mungkin promosi wisatanya yang kurang atau apa, yang jelas saat saya ke sana saya sering menjadi satu-satunya pengunjung.

Sama dengan Purwokerto, kendala bahasa juga membuat saya harus berpikir banyak jika berkomunikasi dengan penduduk lokal. Bahasa Cirebon yang merupakan campuran bahasa Jawa dan Sunda membuat saya seakan berada di dimensi lain saat bercakap-cakap dengan mereka. Untung saja, mereka lebih mau menggunakan bahasa Indonesia dibandingkan di Purwokerto. Sekali lagi ini bukan rasis ya, hanya pengalaman pribadi.

Entah apa yang salah dengan pengembangan wisata di kota ini.


Untuk makanannya bagi saya cukup aneh rasanya tapi enak dan bikin ketagihan. Mulai nasi jamblang, empal gentong, dan lain sebagainya. Menurut saya bumbu rempahnya khas dan tidak ditemui di daerah lain.

Itulah beberapa unpolular opinion beberaka kota yang pernah saya kunjungi. Bagaimana dengan Anda?

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya