![]() |
Ilustrasi, - Times Indonesia |
Kemarin, saya menemukan sebuah video TikTok apik dari sebuah SD Negeri di Kabupaten Toraja Utara.Video tersebut menampilkan beberapa siswa kelas 6 yang berpamitan kepada adik-adik kelasnya. Mereka melepas topi dan dasi yang mereka kenakan. Selanjutnya, dua barang tersebut dipasangkan ke adik kelas mereka. Di akhir video, mereka pun dadah-dadah dan seakan sebagai lambang bahwa hari tersebut adalah hari terakhir mereka bersekolah.
Video berdurasi 1 menit tersebut sangat mengharukan. Terlebih, suara iringan musik dalam video tersebut menggunakan lagu perpisahan. Rasanya haru biru menyatu dalam suasana yang syahdu.
Namun, ada satu hal yang mengganjal dari video tersebut. Tak lain adalah komentar dari netizen. Bagi saya, video tersebut bagus saja dan berkesan. Akan tetapi, tidak bagi sebagian orang. Mereka mempertanyakan mengapa siswi di video tersebut tidak berhijab.
Ada komentar yang mengatakan bahwa sebaiknya mereka berhijab. Ada pula yang memberikan dalil bahwa mereka sudah beranjak dewasa dan sudah saatnya menutup aurat. Saya miris sekali melihat komentar ini. Video yang bagus begini kok ya masih dikomentari dengan sentimen agama.
Saya langsung membuka statistik demografi penduduk Kabupaten Toraja Utara. Dari sekian ratus ribu penduduk, sebanyak 95% adalah penganut Nasrani. Sebanyak 83% penganut Kristen Protestan dan 12% penganut Kristen Katolik. Sementara, jumlah umat Islam di wilayah itu kurang dari 5%. Artinya, jumlah umat Islam di sana sangat sedikit dan bisa jadi, siswi di sekolah tersebut adalah 100% Nasrani, entah Protestan atau Katolik yang tidak berhijab.
Saya pun langsung mengomentari balik orang yang menyuruh siswi di sana berhijab dengan data statistik. Kalau dibiarkan dan dinormalisasi, mereka itu tuman dan bisa merusak kebhinekaaan. Syukurlah, banyak komentar yang kontra terhadap pemaksaan berhijab tersebut. Artinya, orang-orang sebenarnya sudah sadar bahwa hal ini tidak boleh dijadikan alasan untuk pemaksaan.
Tak hanya itu, siswi tersebut bersekolah di SD Negeri, yang tidak mewajibkan siswinya mengenakan hijab. Beda halnya jika mereka bersekolah di SDI atau MI, tentu mereka wajib berhijab selama sekolah. Meski demikian, ada satu tren unik dari penghijaban siswi di SD Negeri beberapa waktu terakhir.
Sebagai muslim, tentu saya senang sekarang banyak siswi SD Negeri - terutama di perkotaan - yang sudah mengenakan hijab secara masif. Mereka sudah sadar bahwa menutup aurat adalah sebuah hal yang harus dilakukan. Namun, pembiasaan ini jangan dijadikan patokan keberhasilan pendidikan di SD Negeri. Jangan jadikan sebuah alasan jika SD Negeri yang siswinya banyak berhijab otomatis kualitas pendidikannya bagus.
Ada banyak faktor yang mendasari hal ini karena kebanyakan siswi yang berhijab tersebut melakukannya bukan karena kesadaran pribadi. Banyak karena tekanan dari orang tua, guru, atau lingkungan sekitar. Mereka melakukannya juga bisa jadi malu jika tidak ikut temannya berhijab.
Saat mengajar di sebuah SD Negeri dulu, saya mengalami perubahan drastis hijabisasi di sekolah saya mengajar. Saat awal mengajar, hampir tidak ada siswi yang berhijab. Kalau pun ada, hanya 1-2 saja yang memang orang tuanya sudah menanamkan hal ini sejak kecil. Saya pernah iseng bertanya pada mereka mengapa mereka berhijab dan apakah mereka nyaman. Jawaban mereka sungguh di luar dugaan.
Kebanyakan mereka memang dibiasakan sejak kecil. Orang tua mereka sebenarnya tidak memaksakan untuk berhijab. Namun, mereka sering dikenalkan dengan baju berhijab yang bagus. Mereka juga tinggal di lingkungan yang sebagian wanitanya berhijab. Mereka juga sering diberi hadiah hijab oleh sanak saudaranya. Pembiasaan ini perlahan menumbuhkan kesadaran bahwa mereka sebenarnya lebih enak jika berhijab. Akhirnya, mereka pun terus berhijab hingga ke sekolah.
Di tengah perjalanan saya mengajar, entah siapa yang menginisiasi, tiba-tiba Kepala Sekolah saya dalam sebuah pertemuan dengan wali murid memberikan paparan mengenai seragam hijab. Beliau memaparkan bahwa semua siswa di SD Negeri tersebut adalah muslim. Ada baiknya siswi sudah mulai berhijab. Terlebih, saat itu mereka duduk di Kelas 5 yang juga waktunya ganti seragam karena tubuh mereka yang makin besar.
Perlahan tapi pasti, satu per satu siswi saya berhijab. Dari yang awalnya 1-2 orang saja, lama-lama menjadi hampir seluruh siswi. Bahkan, ada 2 siswi terakhir yang belum berhijab akhirnya juga berhijab. Saya kembali iseng bertanya pada mereka mengapa mereka akhirnya berhijab. Mereka pun jujur mengatakan bahwa mereka malu jika belum berhijab.
Saya lantas bertanya kembali apakah mereka nyaman berhijab. Kalau tidak nyaman, tidak usah dipaksakan dulu. Mereka pun berkata sebenarnya tidak nyaman, tapi karena sudah kadung beli baju seragam baru, maka mereka pun akan mencobanya.
Sebagai bentuk apresiasi, saya pun mempersilakan mereka minum di akhir pelajaran yang super panas, membawa kipas angin mini, dan menyalakan kipas angin kelas selama pelajaran. Bagi saya penting untuk mengapresiasi keputusan mereka, tetapi saya tidak mau memaksakan mereka berhijab karena kembali ini sekolah negeri, bukan sekolah berbasis Islam.
Saya juga menitip pesan kepada guru agama untuk tidak terlalu menekan siswi yang baru berhijab. Saya juga meminta dispensasi agar mereka diperbolehkan tidak berhijab saat pelajaran olahraga karena memang seragamnya belum didesain untuk berhijab. Namun, saya memberi arahan pada siswi saya saat mereka tidak berhijab, saya minta menguncir rambut mereka dengan rapi.
Nah, saya mengira tren ini hanya terjadi di sekolah saya yang 100% siswanya muslim. Ternyata tidak. Hampir semua SD Negeri di kota saya siswinya sudah berhijab semua. Bisa jadi, gerakan untuk menghijabkan siswi di SD Negeri ini adalah perintah dari pejabat, tetapi dilakukan secara halus. Kalau menemukan siswi tidak berhijab, maka dipastikan mereka bersekolah di sekolah Kristen/Katolik. Berbeda dengan di wilayah kabupaten yang hampir semua siswi di SD Negeri tidak berhijab.
Kembali ke masalah hijab, sebenarnya saya mengambil jalan tengah untuk ini. Untuk ukuran SD, sebenarnya mereka masih belum perlu dipaksakan untuk berhijab. Biarlah mereka menikmati masa-masa rambut dikepang, dijepit, dan sebagainya. Barulah saat SMP, saya sangat setuju jika mereka mengenakan hijab karena sudah masuk usia yang lebih matang. Kalau menurut Anda bagaimana?
Tags
Catatanku