Apa Sebab Suroboyo Bus Belum Bisa Menjadi Tumpuan Masyarakat Surabaya?


Sudah hampir 7 tahun sejak 2028, Suroboyo Bus mengaspal di jalanan Kota Surabaya.

Berbagai transformasi pun sudah dilakukan oleh Dishub Surabaya selaku operator dari Bus Raya Terpadu (BRT) andalan masyarakat Surabaya ini. Mulai dari pembayaran menggunakan sampah botol plastik, pengecekan posisi armada bus, hingga pembayaran digital seperti QRIS atau kartu tol, dan beberapa terobosan lain.

Adanya Suroboyo Bus yang ditunjang dengan dua moda transportasi lain, yakni Wira-wiri dan Trans Semanggi diharapkan bisa mengatasi kemacetan Kota Surabaya. Sebagai info, kota ini pernah dinobatkan sebagai kota termacet se-Indonesia oleh INRIX mengalahkan Jakarta, Bandung, dan Medan. Keberadaan Suroboyo Bus juga diharapkan mampu menekan jumlah kendaraan pribadi yang digunakan warga Surabaya.

Namun, Suroboyo Bus ternyata belum mampu memecahkan masalah transportasi kota pahlawan. Buktinya, jumlah penumpang Suroboyo Bus pada 2024 berjumlah 1.990.257 penumpang. Data itu didapat dari Dishub Surabaya yang melakukan rekapitulasi selama satu tahun.

Jumlah penumpang setahun Suroboyo Bus masih di bawah BRT di kota lain. Tidak perlu membandingkan dengan Jakarta yang jelas jauh lebih banyak, jumlah masih jauh dari Semarang dan Yogyakarta. Penumpang Trans Jogja yang menjadi tumpuan masyarakat Jogja pada tahun 2024 sebesar 8.984.984 penumpang. Sementara, jumlah penumpang Trans Semarang selama 2024 mencapai 13.135.009 penumpang. Sebuah perbandingan yang sangat jauh.

Padahal, Surabaya adalah kota terbesar kedua di Indonesia. Lebih besar dari Yogyakarta dan Semarang jika dilihat dari luas wilayah dan jumlah penduduk. Lantas, apa sebab Suroboyo Bus masih belum menjadi tumpuan masyarakat Surabaya? Setidaknya ada beberapa alasan yang mendasarinya.

Pertama, rute yang tidak mengalami perkembangan.

Sejak diluncurkan tahun 2018, rute Suroboyo Bus tidak mengalami perkembangan berarti. Meski sempat memiliki 4 rute, kini hanya 2 rute aktif yang beroperasi. Satu diantaranya diganti dengan wira-wiri dan satu lagi oleh Trans Semanggi.

Padahal, sejak peresmiannya, ada rencana pengembangan rute hingga ke pelosok Surabaya. Mulai dari rute PDAM Karangpilang - KWR Sunan Ampel, SIER - RSAL Tanjung Perak, Manukan - Kedung Cowek, Rungkut - PNR Mayjend Sungkono, dan TIJ - PNR AR Hakim.

Belum beroperasinya rute baru tersebut membuat banyak wilayah di Surabaya belum terjamah oleh angkutan umum. Masyarakat pun enggan naik Suroboyo Bus karena belum ada rute yang melalui rumah atau tempat kerjanya. Mereka pun akhirnya lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.

Kedua, gaya hidup masyarakat Surabaya yang suka naik kendaraan pribadi

Masyarakat Surabaya yang sudah terbiasa tidak memiliki angkutan umum sejak lama memiliki gaya hidup menggunakan kendaraan pribadi. Berdasarkan data Electronic Registration and Identification (ERI) Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas Polri) tahun 2025, jumlah sepeda motor di Kota Surabaya sebanyak 3,05 juta unit. Sementara, jumlah mobil penumpang sebanyak 573,88 ribu unit.

Banyaknya jumlah kendaraan bermotor di Surabaya mencerminkan gaya hidup masyarakat yang memang mau tak mau menggunakan kendaraan pribadi untuk beraktivitas. Mereka susah untuk meninggalkan kendaraan pribadi karena dianggap lebih cepat dan efisien. Tak heran jika showroom mobil dan motor cukup ramai pembeli di Surabaya.

Ketiga, headway yang lama

Harus diakui, salah satu penarik minat masyarakat untuk beralih ke transportasi umum adalah headway atau waktu tunggu. Jika menilik pada standar Kemenhub, waktu tunggu BRT maksimal adalah 15 menit. Kurang dari itu, bisa dikatakan BRT memiliki pelayanan yang baik.

Sayangnya, headway Suroboyo Bus sering lebih dari 15 menit. Ada beberapa alasan yang menyebabkan waktu tunggu bus ini cukup lama. Mulai dari kemacetan, rusaknya armada, hingga sebab lain. Penumpang pun sering mengeluh bahwa waktu tunggu Suroboyo Bus bisa sampai setengah jam atau bahkan lebih.

Jika begini, minat masyarakat pun akan susah untuk beralih menggunakan Suroboyo Bus. masyarakat tentu butuh layanan transportasi yang cepat dan bisa diandalkan untuk beraktivitas. Siapa sih yang mau menunggu bus lebih dari setengah jam?

Keempat, metode pembayaran yang eksklusif

Pembayaran tiket Suroboyo Bus hanya bisa menggunakan nontunai (QRIS/kartu tol) dan sampah botol plastik yang diubah jadi poin. Penumpang tidak diperkenankan untuk membayar secara tunai. Alasan inilah yang membuat banyak orang enggan menggunakan Suroboyo Bus.

Mereka merasa metode pembayaran tersebut kurang praktis karena harus menyediakan saldo uang elektronik atau dompet digital. Berbeda halnya dengan Trans Semarang atau Trabs Jogja yang masih menerima pembayaran secara tunai. Walau lansia tidak dipungut biaya, tetap saja masih banyak masyarakat yang merasa pembayaran secara tunai lebih efektif.

Itulah beberapa sebab Suroboyo Bus masih belum menjadi tumpuan warga Surabaya. Semoga ke depannya ada peningkatan layanan sehingga lebih banyak masyarakat yang tertarik untuk naik.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya