Punya Circle Beda Agama, Bukan Sekadar Toleransi Saja

Ilustrasi by Grok

Kemarin, saya membaca berita mengenai kejadian persekusi sebuah kegiatan keagamaan Kristen di wilayah Kota Padang.

Jujur, saya tidak lagi marah dan kecewa atas kejadian itu. Melainkan, sudah tidak bisa berkata-kata lagi dengan orang-orang yang membawa nama agama untuk melakukan kekerasan. Kadang, saya sampai berpikir, kok bisa-bisanya mereka tega berbuat seperti itu?

Kadang pula, saya heran dengan ketakutan yang dimiliki oleh orang-orang yang di sekitarnya berbeda agama. Masak sih mereka berpikir orang yang beda agama itu seperti zombie? Atau monster mengerikan yang harus dibasmi sampai ke akar-akarnya? Padahal toh mereka manusia biasa, yang hidup sama dengan kita, makan dengan menu yang hampir sama. Hanya berbeda tentang konsep ketuhanan dan tata cara peribadatan.

Tak heran, saat melihat statistik dari BPS mengenai tanggapan masyarakat atas perbedaan agama di sekitarnya, beberapa wilayah di Indonesia menunjukkan warna merah. Artinya, ada banyak wilayah yang masyarakatnya enggan untuk menerima perbedaan agama diantara mereka.

Untung saja, wilayah tempat tinggal saya bekerja menunjukan warna hijau. Apalagi kalau bukan Kota Surabaya. Bahkan, wilayah Surabaya tampak hijau sendiri diantara wilayah lain di sekitarnya yang berwarna merah. Artinya, toleransi masyarakat tentang perbedaan agama di kota ini sangat tinggi. Walau dikenal keras dengan umpatan Jancok, tetap saja untuk urusan toleransi beragama Surabaya adalah juaranya. 

Peta toleransi beragama di Indonesia. - Sumber BPS


Uniknya, dari data statistik pula, saya tinggal di wilayah kecamatan yang cukup beragam soal agama. Umat muslim sebagai mayoritas jumlahnya hanya sekitar 60% saja. Sisanya, ada beragam agama mulai Protestan, Kristen, Hindu, Buddha, Kong Hu Chu, dan penghayat kepercayaan. Keragaman ini pun merembet ke tempat kontrakan saya yang hampir semuanya memeluk Nasrani. Tinggal saya saja yang beragama Islam.

Akhirnya, saya pun memiliki circle berbeda dengan kebanyakan orang di keluarga atau teman lainnya. Circle yang berbeda ini nyatanya tidak hanya berdampak pada toleransi yang saya lakukan, tetapi sudah menjalar ke berbagai aspek kehidupan.


Persentase agama tiap kecamatan di Surabaya


Meski hampir semuanya Nasrani, mereka masih menganggap saya sebagai muslim yang harus taat menjalankan agama. Tiap jumat, ada saja WA yang masuk untuk mengingatkan saya untuk salat jumat.

Saat saya agak malas dan berniat untuk datang ke masjid agak telat, mereka melarangnya. Bahkan, ada yang baru membeli parfum mahal baru langsung mengeluarkan parfumnya untuk saya pakai agar saya semangat jumatan. Ada juga yang berkata kalau saya datang terlambat, nanti saya dapat telur dan tidak dapat unta. Entah dari mana mereka dapat dalilnya, yang jelas akhirnya saya pun pergi ke masjid untuk jumatan tepat waktu. Kadang, ada lho yang sampai mengantar saya ke masjid karena jaraknya cukup jauh.

Kalau sedang dapat nasi kotak jumat berkah, saya pun akhirnya berbagi dengan mereka. Enak sekali rasanya bisa makan bersama dari hasil ibadah. Pun setelah ada kegiatan di gereja, tak jarang mereka juga membawa makanan untuk saya.

Bahkan, ada satu romo di Keuskupan Agung Surabaya yang menanyakan saya karena ada jemaatnya yang sering minta nasi kotak setelah ada kegiatan OMK (Orang Muda Katolik) untuk saya. Beberapa kali saya diminta datang untuk sekadar berbincang dengan romonya tapi waktu belum pas. Romonya tertarik berbincang dengan saya karena ia juga suka menulis blog.

Teman-teman yang menganut Protestan pun juga tidak kalah suportifnya. Mereka sering meminta izin saya dulu untuk memutar lagu rohani di kontrakan. Sampai-sampai. Mereka memilih lagu rohani yang tidak ada unsur trinitasnya agar saya nyaman. Saya sih tidak mempermasalahkan dan herannya saya malah ketagihan mendengarkan beberapa lagu rohani. Yah untuk penyemangat hidup dan mendekatkan diri pada Tuhan.

Momen yang paling saya suka tentu saja saat perayaan Natal. Kontrakan rasanya penuh dengan makanan karena banyak keluarga mereka datang berkunjung. Rasanya perut saya sudah tak kuat untuk makan dan terus saja diminta oleh keluarga mereka makan.

Nah, memiliki circle yang berbeda agama bagi saya tak sekadar toleransi saja. Rasanya menjadi sebuah keluarga besar dengan penerimaan diri untuk berbeda dengan tujuan yang sama. Toh sama-sama menyembah Tuhan kan?

Makanya, saya masih heran sekali jika ada umat muslim di Indonesia yang sangat anti dengan perbedaan agama, terutama dengan Kristen. Kok seolah mereka jadi bahan ancaman padahal mereka baiknya luar biasa. Bisa jadi, mereka harus sesekali tinggal di daerah mayoritas Kristen seperti saya agar bisa merasakan betapa nikmatnya hidup dengan circle beda agama.

Post a Comment

Sebelumnya Selanjutnya