![]() |
Ilustrasi by Grok |
Hanya seseorang yang tidak suka mengikuti tren.Itulah kalimat singkat yang saya sematkan pada bio akun Instagram saya. Kalau dibaca sekilas memang agak jayus dan aneh. Biasanya, orang menulis bio di Instagram dengan berbagai pencapaian dan prestasi. Kalau tidak, kepemilikan akan sesuatu dan sebagainya. Sebagai bukti dari ekstensi di dunia maya, terutama di Instagram.
Namun, saya memilih cara berbeda. Bagi saya, branding di media sosial untuk tidak suka mengikuti tren adalah sebuah hal yang cukup langka dan mahal saat ini. Lantaran, kebanyakan orang seakan ingin terbawa arus dengan tren yang sedang hits.
Mulai tren makanan, baju, joged-joged, dan lain sebagainya. Sebenarnya, saya tidak menyalahkan mereka karena dengan mengikuti tren, maka ada eksistensi diri yang timbul dan itu bisa dibagi. Namun, bagi saya dengan selalu mengikuti tren, maka seseorang seakan tidak punya pendirian.
Ia akan dengan mudah mengikuti arus dan tidak akan memiliki keteguhan diri. Saat ia akan berkreasi, maka ia akan cenderung ikut tren yang sedang hits. Padahal, ada kemampuan dan potensi yang khas bagi dirinya.
Contohnya, seorang pecinta kuliner yang sebenarnya bisa mengeksplorasi banyak UMKM di sekitarnya. Jika ia teguh pada pendirian, ia akan tetap konsisten membuat konten seputar kuliner UMKM yang ada di sekitarnya. Konten ini akan membuat nilai lebih dan branding yang kuat pada dirinya. Saya sering menemukan konten-konten semacam ini dengan jumlah pemirsa yang lumayan.
Namun, jika ia tidak punya pendirian dan ikut arus, maka ia akan cenderung ikut membuat konten yang sedang viral. Saat viral konten donat Pinkan Mamboo, maka ia akan ikut buat konten donat. Saat viral makanan Korea kekinian, ia juga ikut membuatnya. Secara tak langsung, branding dirinya akan tidak lagi nampak karena hanya mengejar keviralan semata.
Dalam dunia nyata, contoh teguh pendirian adalah tidak membuat dan menggunakan paylater. Orang terdekat saya sudah hampir semua menggunakannya. Mereka beralasan karena menggunakan paylater adalah sebuah tren masa kini untuk memudahkan pembelian. Kita bisa membeli barang keinginan kita tanpa menunggu gajian.
Kalau dipikir, tren ini sebenarnya memudahkan. Toh bunganya - kata banyak orang - juga tidak terlalu tinggi. Masih bisa diangsur lah jika memiliki penghasilan 3 jutaan per bulan. Meski demikian, saya punya pendirian bahwa menggunakan paylater itu sama dengan melubangi kapal secara perlahan dengan lubang yang kecil. Kelihatannya memang kecil dan tidak terlihat, tetapi jika dibiarkan akan menjadi membesar dan menenggelamkan kapal.
Saya tidak mau jika meremehkan pengeluaran dengan paylater malah membuat keuangan saya berantakan. Memang jika terlihat kasat mata, saya terlihat “miskin”, tetapi lebih baik daripada terlihat “kaya” dengan banyak cicilan.
Pendirian teguh macam ini adalah salah satu pengamalan dari bio “hanya seseorang yang tidak suka mengikuti tren” yang saya buat. Sampai sekarang, saya masih merasa baik-baik saja dengan pendirian macam ini. Kalau ada hal yang viral, saya hanya melihat dan bilang “oh”.
Pernah suatu ketika, saya berada di sebuah tongkrongan yang hampir semuanya menggunakan jaket bomber. Hanya saya yang menggunakan jaket cardigan jadul karena memang menjadi jaket andalan di mana pun dan kapan pun. Saya berprinsip selama masih muat dan tidak rusak resletingnya, ya masih layak untuk dipakai.
Saya bertanya kepada mereka yang memakai jaket bomber yang baru mereka beli mengenai harganya. Mahal juga ya ternyata paling tidak di atas 300 ribuan. Ada sih yang membeli thrifting dengan harga di bawah 200 ribuan. Namun, mereka membeli lebih dari satu buah karena kepincut dengan model dan warnyanya. Ujung-ujungnya, mereka mengeluarkan uang di atas 500 ribuan juga.
Bagi saya tak masalah membeli jaket apalagi thrifting. Namun, jika hanya sekadar mengikuti tren dan tidak melihat sikon keuangan serta kebutuhan diri, rasanya kok sayang. Terlebih, jika sebenarnya kita belum membutuhkan jaket tersebut dengan kebutuhan lain yang lebih perlu. Maka, ikut tren bukanlah jalan ninja saya untuk saat ini dalam hal apapun.
Pernah suatu ketika, saya berada di sebuah tongkrongan yang hampir semuanya menggunakan jaket bomber. Hanya saya yang menggunakan jaket cardigan jadul karena memang menjadi jaket andalan di mana pun dan kapan pun. Saya berprinsip selama masih muat dan tidak rusak resletingnya, ya masih layak untuk dipakai.
Saya bertanya kepada mereka yang memakai jaket bomber yang baru mereka beli mengenai harganya. Mahal juga ya ternyata paling tidak di atas 300 ribuan. Ada sih yang membeli thrifting dengan harga di bawah 200 ribuan. Namun, mereka membeli lebih dari satu buah karena kepincut dengan model dan warnyanya. Ujung-ujungnya, mereka mengeluarkan uang di atas 500 ribuan juga.
Bagi saya tak masalah membeli jaket apalagi thrifting. Namun, jika hanya sekadar mengikuti tren dan tidak melihat sikon keuangan serta kebutuhan diri, rasanya kok sayang. Terlebih, jika sebenarnya kita belum membutuhkan jaket tersebut dengan kebutuhan lain yang lebih perlu. Maka, ikut tren bukanlah jalan ninja saya untuk saat ini dalam hal apapun.
Tags
Catatanku