![]() |
| Ilustrasi. - BBC |
Saya tidak tahu apa yang sedang ada di pikiran para petinggi di pemerintahan.
Kayak, ya ampun mereka itu punya hati gak ya. Mereka itu manusia bukan ya. Mungkin Anda semua sudah tahu bahwa saat ini Pulau Sumatra sedang dihantam dengan bencana yang amat dahsyat. Apalagi kalau bukan banjir bandang maha dahsyat yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat.
Bencana ini sudah merenggut korban 800 jiwa lebih hingga tulisan ini tayang. Membuat jutaan warga terdampak. Sekali lagi, jutaan, bukan lagi ribuan atau ratusan ribu. Bencana ini dianggap sebagai bencana dahsyat setelah tsunami Samudra Hindia 2004.
Satu hal yang ingin saya ungkapkan pada tulisan kali ini adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah. Terutama, pemerintah pusat yang seakan mengentengkan bencana besar ini. Sampai-sampai saya benar-benar bisa kehilangan akal sehat jika mengikuti apa yang mereka pikirkan.
“Semua baik-baik saja…”
“Semua aman terkendali…”
“Yang mengerikan cuma di medsos saja….”
Kayak…ya ampun…kok kalian punya sih pikiran seperti itu. Kok ya sebagai pemerintah yang bertanggunggung jawab pada rakyat kok ya begitu mengentengkan. Seakan nyawa yang hilang tidak ada artinya. Hanya remehan-remehan kecil yang tidak berharga dibandingkan kekuasaan semata.
Ada satu momen yang membuat saya sebal saat pemimpin kita mengatakan bahwa kita bisa mengatasi masalah ini. Jangan disebar-sebarkan. Jangan dibuat panik. Padahal, masyarakat internasional sudah meliput bencana ini sedemikian rupa. Sudah mengabarkan bahwa kita sedang tidak baik-baik saja. Kita sedang butuh bantuan mereka agar para korban bisa segera mendapatkan bantuan dengan layak.
Namun, mereka seakan tidak peduli. Terus menutup mata dan bahkan sebagian sok sebagai pahlawan. Padahal, bencana ini juga dikarenakan ulah mereka. Ulah mereka yang memberi kesempatan dan izin untuk merusak lingkungan dengan izin tambang dan pembukaan lahan kelapa sawitnya.
“Jangan takut dengan lahan sawit…Itu tidak merusak….Sawit baik….Sawit untuk pendapatan negara……”
Prett lah. Bagi saya semuanya adalah omong kosong. Omon-omon, kata si paling macan asia. Semuanya adalah usaha untuk mendapatkan banyak keuntungan dari merusak alam. Semuanya bertujuan untuk memperkaya diri mereka sendiri dan para keluarganya. Maka, saat mereka tiba-tiba hadir dengan kegiatan “membantu warga” rasanya muak melihatnya.
Di sisi lain, para buzzer dengan berisiknya mencuci tangan kesalahan mereka. Mengatakan bahwa ini murni karena alam. Karena badai besar yang menerjang Asia Tenggara. Mereka mengatakan bahwa negara lain juga mengalami hal serupa.
Namun, pernahkah mereka berpikir bahwa air bah yang melanda banyak negara itu berbeda dengan apa yang ada di Sumatra? Pernahkan mereka melihat air bah itu juga memuat banyak kayu gelondongan hasil dari pembalakan liar untuk lahan sawit?
Mereka mungkin melihatnya tapi hati mereka sudah tertutup uang. Mereka akan senantiasa punya banyak alasan agar yang dibela tidak bersalah. Tidak apa-apa hina di dunia asal terus membela pemerintah. Itulah alasan mengapa saya begitu tidak menyukai mereka. Saya menjuluki mereka dengan *(maaf) Om-om san*g* dan tante-tante gi**ang. Saat kampanye pilpres begitu berisik dan seakan masih saja membela padahal sudah jelas-jelas amat salah.
Saya beran menulis begini karena sudah tak punya keberanian lagi melihat penderitaan para saudara-saudara di Sumatra. Melihat ayah yang menangis mencari anak istrinya. Ibu yang berjuang agar anaknya bisa hidup. Anak yang masih punya asa agar orang tuanya masih utuh. Bagi saya mereka tak bisa hanya diganjar dengan minta maaf. Apalagi maaf yang hanya sekadarnya. Perlu tindakan serius bagi para elit yang bertanggung jawab.
Di sisi lain, saya sangat terharu melihat rakyat yang bahu-membahu memberikan sumbangan. Bahkan ada yang sampai live streaming mengumpulkan bantuan sehingga bisa mengumpulkan 10 milyar. Bagi saya tindakan ini adalah cermin bahwa rakyat sudah tidak lagi percaya pada pemerintah. Sudah muak dan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah yang lamban dan seakan menganggap enteng bencana ini.
Hingga saya menulis unggahan ini, masih banyak saudara kita yang membutuhkan bantuan. Masih ada desa-desa dan pemukiman yang terisolasi sehingga membutuhkan bantuan segera. Masih banyak diantara mereka yang berjuang untuk hidup bahkan harus dengan apa yang mereka punya.
Kalau saja bencana bisa memilih, rasanya lebih baik diberikan pada pejabat pemerintah dan keluarganya.
