Membaca Bakti Anusapati pada Relief Candi Kidal Malang

Kembali, motor saya membelah wilayah pedesaan di Kabupaten Malang. Lama tidak mengendarai motor membuat saya betah berada di atas jok meskipun harus berjam-jam di atasnya.


Perjalanan di Liburan Imlek kali ini membawa saya ke wilayah Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang. Salah satu kecamatan ramai yang menghubungkan Kota Malang dengan Gunung Bromo tersebut juga memiliki banyak tempat wisata unik. Salah satunya adalah Candi Kidal. Candi yang terletak di Desa Kidal ini merupakan salah satu candi yang cukup tua di daerah Jawa Timur selain Candi Badut. Meski pembangunan candi ini dilakukan pada masa Kerajaan Singosari, tak ada candi lain yang ditinggalkan oleh Airlangga selain Belahan dan Jolotundo saat kejayaan Kerajaan Medang Kamulan membuatnya menjadi inisiasi dari candi-candi lain pada masa Singosari.

Inisiasi candi ini membuatnya unik. Para ahli menyatakan bahwa candi ini adalah prototipe dari Candi Jawa Timuran. Artinya, pembuatan candi sedang mengalami masa transisi dari gaya Jawa Tengahan menuju gaya candi gaya Candi Timuran. Jika diibaratkan, bentuk candi ini berubah dari bentuk yang gemuk dan ginuk-ginuk menuju bentuk yang ramping dan menjulang seksi. Candi ini sendiri dibangun pada tahun 1248 M setelah upacara pemakaman Raja Anusapati, raja kedua Kerajaan Singosari.

Tubuh Candi Kidal yang merupakan peralihan dari Candi Jawa Tengahan menuju Candi Jawa Timuran. Jika diibaratkan, ia seperti seseorang yang sedang melakukan diet, dari ginuk-ginuk menjadi ramping.
Candi Kidal yang sudah dipundak. Kapan kamu ada dipundak? Eh
Memasuki halaman candi, tak banyak orang yang berkunjung di hari itu. Saya datang dua jam setelah candi buka. Jam buka candi ini sendiri adalah pukul 07.00 hingga 16.00. Taman yang mengelilingi candi menggelitik saya untuk segera memasuki candi. Namun, saya harus berhati-hati karena jalan paving menuju candi tersebut memiliki anak tangga yang tak terlihat. Terlalu semangat, kaki saya bisa saja terantuk anak tangga tersebut. Tangga semu ini sebenarnya adalah susunan batu yang berfungsi sebagai pagar. Kesemuan tangga batu ini semakin paripurna karena tak dilengkapi dengan pipi tangga berbentuk ukel sebagaiman pada candi-candi lain.

Sayang, saya tak segera bisa memasuki candi karena ada tulisan larangan memasuki candi selain izin dari petugas. Jadi, pada kunjungan kali ini saya hanya akan mengulik relief dan bagian-bagian candi yang tak saya lakukan sebelumnya dengan detail. Terbuat dari batu andesit, candi berdiri di atas batur (kaki candi) setinggi 2 meter. Menghadap ke pintu candi, saya selalu dikejutkan dengan hiasan kalamakara (kepala kara) di bagian atas pintu tersebut. Hiasan yang menyeramkan ini memiliki mata yang melotot serta dua taring yang besar dan bengkok. Rasa-rasanya, ia akan melahap saya hidup-hidup. Dua taring tersebut sebenarnya merupakan ciri khas candi Jawa Timuran. Keseraman pintu candi ini semakin lengkap dengan adanya dua jari tangan runcing dengan sikap mudra yang mengancam.

Kalamakara di atas pintu candi yang menyeramkan.
Hiasan pada kaki candi
Keunikan lain dari candi ini adalah atapnya yang berbentuk kotak bersusun tiga. Semakin ke atas, makin kecil susunannya. Namun, puncak candi tidak runcing seperti yang saya temui di Candi Jawi maupun Candi Singosari. Tak hanya itu, puncak atap tak dihiasi ratna atau stupa, namun hanya datar begitu saja. Hanya ada hiasan bunga dan suluran kecil. Mungkin inilah yang menyebabkan candi ini disebut peralihan dari dua gaya candi yang sering dikenal.

Atap candi

Karena sudah memiliki tekad akan membaca relief candi, saya hanya berputar berlawanan arah jarum jam dari pintu candi ini. Alasan tersebut yang membuat candi ini disebut Candi Kidal karena untuk membaca candi ini harus dimulai dari sebelah kiri dan berlawanan arah jarum jam. Lagi-lagi, hal ini merupakan anomali dari kebanyakan candi lainnya. Dari literasi yang saya baca di pintu masuk candi, di dalam relief Candi Kidal ini menggambarkan mitos Garudheya. Mitos ini merupakan sosok penggambaran seekor garuda yang membebaskan ibunya dari perbudakan dengan menggunakan air suci amerta (air kehidupan). Nah mitos yang tergambar dalam relief ini konon diyakini sebagai bentuk ruwatan (upacara keselamatan) yang diinginkan Anusapati kepada ibunya Ken Dedes. Kecintaannya kepada sang ibu membuat Anusapati membuat candi tempat pendharmaannya untuk melambangkan cerita tersebut.

Relief seekor Garuda yang menggendong seorang wanita. Perlambang bakti Garudheya terhadap sang ibu meskipun ia adalah anak angkat. Mitos ini cukup berkembang pesat pada masyarakat Jawa Kuno yang beragama Hindu. Di dalam agama saya sendiri (islam), perintah berbakti kepada ibu juga tercantum dalam Hadist Rasulullah yang berbunyi Surga di Telapak Kaki Ibu.
Saya memulai membaca dari relief pertama di bagian kiri candi yang menghadap ke arah utara. Pada relief ini tergambar seekor garuda yang menggendong 3 ekor ular besar. Relief kedua menggambarkan seekor garuda dengan kendi di atas kepalanya. Relief terakhir ada garuda yang mengendong seorang wanita. Relief terakhir inilah yang menggambarkan usaha pembebasan Garudheya atas ibunya bernama Dewi Winata yang menjadi budak sang adik Dewi Kadru. Alasan perbudakan tersebut adalah karena Dewi Winata kalah taruhan dengan Dewi Kadru. Kedua wanita bersaudara ini bersaing untuk mendapatkan perhatian dari sang suami yang sama, Resi Kasyapa. Sayang, diantara tiga relief tersebut hanya relief kedua yang masih utuh. Dua relief yang lain sudah nampak pecah.

Selain adanya relief, pada dinding candi juga berhiaskan pahatan bermotif medalion yang berjajar diselingi bingkai bermotif bunga. Sulur-suluran juga menghiasi motif medalion tersebut. Tak hanya itu, di pojok-pojok candi yang menonjol keluar juga terdapat patung yang mirip dengan singa dalam posisi duduk dengan satu tangan terangkat ke atas. Jika dilihat seksama, patung ini seakan menyangga pelipit atas kaki candi. Entah, apa maksud dari patung tersebut. Meski mencoba menerka adakah hubungannya antara lambang singa dengan pengultusan hewan ini oleh masyarakat Malang hingga kini, tentu ada makna lain di balik simbol singa tersebut.

Pahatan medalion di dinding candi.
Patung singa di pojok candi.
Perjalanan saya mengelingi candi berakhir di sebuah pohon besar yang memayungi candi dengan samr-samar. Beberapa turis mulai berdatangan yang saya yakini baru pertama kali datang ke Kota Malang. Membuka peralatan swafotonya, mereka mulai menjelajah candi demi mendapatkan potret paripurna. Namun, saya menyangsikan apakah mereka bisa sedikit memaknai nilai bakti Raja Anusapati kepada sang ibu untuk mereka renungi di kehidupan sehari-hari.


Ah, mungkin pemikiran saya ini terlalu naif karena hal itu tidaklah penting sama sekali.

Sumber bacaan : (1)

31 Comments

  1. Iya, kalamakaranya menyeramkan. Iihhh...

    Eh itu foto hiasan kaki candi kok ada kantong plastiknya? Isinya apa tuh? Gorengan ya? Hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. itu sampah dari petugas kebersihan mbak
      habis bersiin candinya belum sempat dibuang
      iya serem ya

      Delete
    2. Kirain gorengan mas, kalo gorengan saya juga minta. hehehe. Cerita candinya asik banget...

      Delete
    3. Sama mas Adi.
      Saya pikir isinya pisang molen atau tahu isi. Hehehe...

      Delete
    4. kalau gorengan sudah saya embat haha

      Delete
  2. Bnayak yg bisa di pelajari
    di indonesia banyak banget peninggalan seprti ini
    jd pengen bisa pergi ke daerah jawa dan menjelajah tempat wisatanya yg penuh dengan sejarah

    ReplyDelete
  3. Candi di Malang yang banyak, salah satunya Candi Kidal yang memiliki banyak Relief yang bisa dibaca oleh mang admin, reliefnya disebut Bakti Anusapati.

    bukan di pundak admin, tapi admin make konde bentuk candi itu mah mang

    ReplyDelete
    Replies
    1. yah mamang
      padahal aku udah puter2 angle foto loh
      kok jadi konde -_-

      Delete
  4. Wah asyik liburan keluarga ke Candi, saya kalo ke Jawa memang tertarik mengunjungi candi-candi.. saya selalu kagum kepada candi-candi yang ada, wah thanks sharingnya Mas.. bisa jadi referensi nih kalo ke Malang

    ReplyDelete
  5. Oh kidal itu ternyata karena berlawanan dengan jarum jam cara membaca releifnya, kirain saat membuat candi dengan tangan satu sebelah kiri.
    Makna releifnya unsur edukasinya tinggi sekali. Kenapa tidak bebas masuknya, dan harus minta injin sama penjaga candi? kan sudah bayar tiker masuk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya ams artinya kidal kan kiri jadi bacanya dari kiri berlawanan sama arah jarum jam
      masih diperbaiki kayaknya jadi gak sembarangan bisa masuk ke bagian dalam candinya

      Delete
  6. Iyaa,,jika dibandingkan dgn jawa tengah candi jatim beda yaa,, ternyata punya ciri has sendiri, kiraen hanya berdasarkan agama yg di anut mereka, jd candi budha dan hindu

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalau agama ada sih bedanya, lebih kepada atap candi
      kalau candi hindu atapnya berbentuk ratna seperti pada prambanan
      kalau candi buddha atapnya stupa seperti pada borobudur
      tapi ada juga yang campuran/sinkreteisme jadi atapnya atau bagiannya ada yang hindu sama buddha kayak di candi plaosan
      kalo gaya, jawa tengah lebih gemuk kalau jawa timur lebih ramping

      Delete
    2. Penjelasannya simple bngat dan mudah dibedakan ya,, guru sejarah ya mas bro?

      Delete
    3. bukan mas, saya guru SD kok
      di bio kan ada, hehe

      Delete
  7. Hanya org-org telaten dan bijak yg bisa memaknai dari sebuah candi mas. Dulu aku pun ke candi borobudur gak ngerti apa-apa, taunya cuma difoto ayah deket patung hehe..

    Aku suka banget baca artikel ini, jadi tau maknanya. Btw, candinya terawat ya, buktinya rumputnya rapi 😄👍

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih atensinya mbak
      candinya terawat
      dan memang ada juru rawatnya khusus, ada 4 kalau gak salah

      Delete
  8. mantap ya ternyata ada juga namanya candi kidal

    ReplyDelete
  9. Ini berarti candi antimainstream cuuuy. Keren sih udah mulai mikir mau ngubah bentuk. Ngubah cara baca. Hohoho. Tapi itu ukurannya termasuk kecil gitu sih ya per candinya? Bukan yang gede kayak kerajaan sultan. ._.

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya pada zaman itu orang sudah mulai berpikir mengubah bentuk.
      ini sebenarnya lumayan besar
      ada kompleknya
      cuma banyak yang hilang jadi cuma 1

      Delete
  10. Banyak hal yang bisa dipelajari dari candi ini ya mas.
    Setiap reliefnya memiliki makna.

    ReplyDelete
    Replies
    1. setiap candi memang punya relief yang menggambarkan sesuatu hal mas

      Delete
  11. Keren detil ornamen candinya, aku suka.

    Ada kepala gajah, mirip dengan candi di Muntilan.

    ReplyDelete
  12. Indah sekali motif relief-relief candinya. Saya selalu suka dengan cerita di balik motif relief candi di Indonesia. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya benar sekali mas agung
      ceritanya syarat makna ya
      salam

      Delete
  13. waktu ke malang dua tahun lalu lewat sini, tapi ga jadi mampir soalnya buru-buru
    cuma bisa ke jago doang, padahal temen bilang ini candi yang bagus buat belajar sejarah...

    ReplyDelete
Next Post Previous Post