Apa yang Sering Saya Lakukan Saat Transiit di DTC Wonokromo?

Stasiun Wonokromo dipotret dari DTC

 

Darmo Trade Center (DTC) adalah pusat perbelanjaan yang paling sering saya kunjungi di Surabaya.

Kunjungan saya pertama kali di DTC terjadi saat menunggu acara Modis – acara diskusi bulanan – Kompasiana berama Walikota Surabaya, Tri Rismaharini. Saat itu, saya baru tahu bahwa Pasar Wonokromo yang sempat terbakar hebat kini diubah menjadi pasar terintegrasi. Pasar modern di bagian atas dan pasar tradisional di bagian bawah.

Ketika saya ke Jogja dan selalu naik KA Logawa, DTC pun menjadi persinggahan saya sementara untuk menunggu kereta menuju Jogja atau Malang. Ini tak lepas dari posisinya yang berada tepat di seberang Stasiun Wonokromo. Walau kadang saya transit di Stasiun Gubeng dan memilih jalan-jalan dulu di Delta Plaza atau Tunjungan Plaza, akan tetapi DTC tidak akan tergantikan di hati.

Alasan saya tetap memilih DTC adalah lantaran harga barang di sana yang murah. Tak hanya murah, isinya pun lengkap. Saya bisa membeli sandal jepit seharga 5.000 rupiah dan celana pendek seharga 20.000 rupiah saja. Lumayan kan bisa ngirit?

Meski begitu, saya tak berfokus berbelanja karena saya bukan tipe senang belanja. Saya malah menikmati  segala hiruk pikuk aktivitas di pusat perbelanjaan tersebut. Bagi saya DTC unik karena dibandingkan pusat perbelanjaan lain, tempat ini cukup terjangkau untuk kalangan menengah. Saya bisa menyaksikan warga Surabaya dari kalangan menengah menghabiskan akhir pekan.

Lalu, apa saja yang saya lakukan?

1. Pijat Refleksi

Kegiatan yang sering saya lakukan ketika transit di DTC adalah pijat refleksi. Pusat pijat refleksi berada di lantai 4 atau di sebelah utara dari foodcourt. Jadi, setelah saya turun di Stasiun Wonokromo dari Jogja dan menunaikan salat asar, saya langsung menuju lift dan naik ke lantai 4.

Saya memiliki langganan pijat sejak beberapa tahun lalu. Selain murah, pijatan di tempat tersebut cukup kuat dan membuat kaki saya yang pegal setelah berjalan kaki berkilo-kilometer menjadi nyaman. Tak hanya itu, saya gemar melihat candaan yang dilakukan oleh para terapis yang cukup vulgar tapi membuat saya bisa tertawa sejenak. 

Pijat refleksi dulu


Biasanya, saya hanya melakukan pijatan kaki selama 30 menit karena berbagi waktu dengan makan sore. Saya hanya perlu membayar biaya jasa sebesar 25 ribu rupiah untuk mendapatkan jasa pijatan.

2. Melihat Koleksi Para Penjual Akik dan Keris

Di dekat tempat pijat, ada beberapa stan penjual akik dan keris. Selain dua benda tersebut, ada beberapa kerajinan tangan dan beberapa benda eksotik lain. Saya senang dengan penataan para pedagang di DTC yang tertata rapi. Jadi, jika kita sering berkunjung ke sana, maka akan langsung hafal di mana saja penjual tertentu menjajakan dagangannya.

Baca juga : Petang Mencekam di Delta Plaza Surabaya

Meskipun cukup sepi, tetapi ada juga bapak-bapak yang betah berlama-lama nongkorong di area tersebut. Hal yang saya juga saya amati di penjual batu akik di kota lain. Kalau tidak sedang terburu, biasanya saya juga membeli beberapa peralatan ponsel di lantai tersebut.

3. Makan Koloke

Kegiatan yang tidak bisa saya tinggalkan ketika transit di DTC adalah makan koloke. Ini menjadi kewajiban hakiki yang harus ditunaikan sebelum saya naik KA Penataran. Saya gemar sekali makan koloke di Depot Mie Ekspres yang ada di pujasera DTC.

Mari makan...

Meskipun tidak seenak koloke di Malang, akan tetapi koloke di sini bisa mengganjal sementara perut saya yang sudah kelaparan. Harganya juga murah hanya 22.000 per porsi. Harga tersebut sudah termasuk nasi dan teh hangat.

Kalau sedang ingin makan menu lain, biasanya saya makan fu yung hai atau nasi goreng. Yang jelas, saya tetap memilih depot tersebut karena sudah menjadi langganan. Saya pernah pindah depot dan menu makanan tetapi rasanya ada yang kurang. Jadi, ritual makan koloke ini menjadi khazanah budaya ketika saya transit di DTC.

4. Mengamati Aktivitas Pedagang Makanan

Sambil menunggu menu makanan saya siap dihidangkan, biasanya saya mengamati aktivitas para pedagang makanan di sana. Bagi saya aktivitas mereka asyik untuk diamati karena mereka tanpa lelah menjajakan menu makanan kepada pengunjung yang sedang lewat.

Baca juga : Menikmati Sepinya Lenmarc Mall Surabaya

Sahut-sahutan suara menu lalapan, soto, rawon, lontong balap, hingga bakso begitu meriah terdengar di telinga saya. Kalau perut saya muat dan uang saya banyak, bisa jadi semua menu tersebut saya makan. Akan tetapi, saya datang dengan uang pas-pasan dan perhitungan matang dalam membelanjakan uang yang saya bawa. Maklum, anak perantauan.

Meski demikian, terbersit juga pikiran mengenai bagaimana mereka bisa mendapatkan uang jika depot mereka tak jua mendapatkan pelanggan. Padahal, itu terjadi sebelum pandemi covid-19 merebak. Setelah saya datang kembali ke DTC saat pandemi, beberapa depot mulai menutup usahanya. Yah meski masih ada saja yang ramai seperti depot favorit saya, tetapi tentu sangat berdampak sekali.

Seorang penjaja makanan berusaha menarik pelanggan sebelum pandemi


Selain melihat mereka berusaha berjualan, kadang saya juga senang melihat mereka yang beristirahat sejenak dari kegiatan berjualan. Ada yang makan atau duduk sebentar ketika tak ada pelanggan. Pusat perbelanjaan ini biasanya ramai mendekati jam makan siang dan saat akan tutup sekitar pukul 6 malam. Biasanya, saya malah datang di sela-sela jam tersebut yakni pukul 4 sore. Tak heran, beberapa dari mereka pun banyak yang beristirahat.

5. Jajan Camilan Murah

DTC juga terkenal akan jajanan murahnya. Kentang goreng, yang biasanya harus saya tebus paling tidak 12 ribu di pusat perbelanjaan lain, saya hanya perlu membelinya sehargra 6 hingga 7 ribu rupiah saja. Yah meski ada harga ada rupa tetapi lumayan jika saya ingin makan cemilan tersenbut.

Banyak camilan murah di DTC. Foto diambil sebelum pandemi


Atau, jika saya ingin membawanya sebagai camilan untuk menunggu kereta di stasiun. Kalau mencari camilan untuk saya makan di kereta api, biasanya saya membeli semacam pukis seharga 1.500 per buah. Namun, saya jarang sekali melakukannya karena sudah kenyang makan koloke.

6. Melihat Pertunjukan

Sebelum pandemi, DTC sering sekali mengadakan lomba, pertunjukan, atau senam Zumba bersama. Kegiatan ini juga menjadi hiburan bagi saya yang lelah dengan perjalanan kereta api. Kegiatan yang sering dilakukan adalah lomba menari atau fashion show.

Percayalah, Surabaya adalah kota dengan intesnitas lomba fashion show cukup banyak di Indonesia. Tak hanya di DTC, di Mall lain, ketika saya berkunjung, ada saja kegiatan fashion show yang diadakan. Senang saja sih melihat anak-anak TK atau SD mencoba unjuk gigi di depan banyak orang.

Makanya, tak heran banyak talenta modeling bermunculan dari kota pahlawan. Puteri Indonesia 2020, Ayu Maulida adalah salah satunya. Saya banyak belajar dari para orang tua yang tak lelah mendukung putra-putrinya meski mereka harus menyempatkan diri di sela kesibukan bekerja. Terutama para ibu yang dengan susah payah membawa segala perlengkapan bagi anakanya untuk bisa tampil. Sayang, dengan adanya pandemi ini, kegiatan itu pun tak bisa dilakukan lagi.

7. Naik Turun Lift Jembatan Penyeberangan

Beberapa waktu lalu, Kota Surabaya memasang lift pada Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di setiap sudut kota. Tak terkecuali JPO yang menghubungkan antara Stasiun Wonokromo dengan DTC. Sebelum ada lift, saya lumayan membakar kalori menaiki anak tangga yang berjumlah puluhan hingga sampai ke sisi yang saya tuju.

Lift JPO
 

Semenjak adanya JPO, saya jadi bisa menghemat tenaga karena barang bawaan saya yang cukup banyak. Namun, karena iseng sesekali saya naik turun lift JPO demi mendapatkan pemandangan dari dalam lift padatnya jalan Surabaya. Saking seringnya saya hilir mudik lift tersebut, saya pernah diperingatkan oleh petugas Pemkot Surabaya yang berjaga di tiap sisi lift. Sayang, sejak pandemi ini, jembatan tersebut tidak beroperasi.

Itulah beberapa kegiatan yang saya lakukan saat transit menunggu kereta di DTC Wonokromo. Walau tempat tongkrongan saya tidak se-wow dengan tempat tongkrongan crazy rich Surabaya, akan tetapi saya sangat bangga dan bahagia. Tempat ini memberikan banyak cerita mengenai kehidupan warga kota dengan segala kompleksitasnya.

9 Comments

  1. Wah asyik nya menghabiskan waktu di DTC, btw koleksi akik dan kerisnya ga ada fotonya ya?

    ReplyDelete
  2. Surabaya adeknya Jakarta. Serba ada, beragam pesona.

    ReplyDelete
  3. wkwkwkwkwkw, naik turun lift JPO wakakkaka.

    Saya dong, kayaknya belom pernah sama sekali nih masuk stasiun Wonokromo.
    Tapi kalau DTC udah lumayan sering, meski ga addict juga.
    Bahkan sebelum dia jadi mall kayak sekarang, pernah juga saya ke sana di ajak teman saya yang namanya Nila, yang juga ngajarin saya mblakrak ke pasar turi dulunya hahaha.

    Etapi saya baru ngeh loh, banyak yang asyik di DTC, soalnya kami kalau ke sana, palingan mau liat mainan anak yang stand nya di lantai paling atas tuh, dia jualan mainan sedikit lebih murah, beli mobil remote di sana selalu harganya miring.

    Selain itu, jarang lagi kami ke sana, soalnya juga parkirannya menyebalkan hahahaha.
    Baik mobil, apalagi motor, tidak senyaman parkiran di mall lainnya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. soalnya paling deket stasiun mbak ahah

      lengkap banget soalnya banyak kain dan pakaian juga
      bisa kalap kalau lama lama ahahahah

      iya parkirannya di atas mbak
      tapi memang riweh
      saya pesen gojek hgamau kok harus ke staisun wkwk

      Delete
  4. Justru tempat tongkrongan seperti ini yang memberi kesan berbeda ketika diingat kembali, Kak. Hahaha.
    Ngelihatin pedagang, pertunjukan, harga snack murah, nggak akan bisa didapatkan ditongkrongan crazy rich 🤣. Btw, naik turun lift JPO apa nggak pusing, Kak? 😂

    ReplyDelete
    Replies
    1. enggak mbak sekalian liat kemacetan Kota Surabaya hahahaha

      Delete
  5. Kapan ya terakhir kali saya main ke DTC? Kayaknya sih sewaktu kuliah dulu, transit juga seperti Mas Ikrom. Pulang kuliah bukannya ke rumah malah blakrakan ke sini. Apalagi tujuannya kalau bukan belanja dan berburu kuliner, hehehehe. Kalau mau cari makanan yang berat, mampirnya ke food court. Tapi, kalau nggak lapar-lapar amat, saya langsung cusss ke penjual jajanan tradisional di bawah. Wah, memang komplet deh DTC ini. Sayangnya toko bukunya sudah hengkang dari situ (ataukah masih ada?).

    ReplyDelete
Next Post Previous Post