Cerpen | Reuni Keluarga


 

Tiap aku mencoba untuk bergabung dengan "saudara jauh itu", tiap itu pula aku selalu merasa kikuk.

Entah, apa yang ada di pikiranku sehingga tak sepatah kata pun bisa terucap dari bibir. Untuk mencairkan suasana atau basa-basi dengan mereka, aku pun tak bisa melakukannya.

"Sudah. Ayo bergabung sana!" perintah ibu terus berdengung di telingaku.

Ini tahun ketiga sejak acara yang dinamakan reuni keluarga itu berlangsung. Aku tak tahu siapa yang memulai acara ini dan apa alasan acara ini diadakan.

Yang jelas, aku tak begitu menikmatinya. Itu saja.

Orang tua saling ribut dengan apa yang mereka punya. Sesepuh yang membaca bacaan tahlil acuh tanpa melihat sekeliling hingga anak-anak yang kata ibuku "saudara jauh" itu berimajinasi lewat ponsel symbian kebanggaan mereka. Ah, bahkan aku tak punya barang itu meski aku sudah kelas 9 dan hidup di kota.

Aku ingat, sejak masih kecil, ayah selalu mengajak kami pulang kampung pada hari kelima Idulfitri. Kata ayah, ini adalah bentuk kewajiban dari seorang anak untuk menyambung tali silaturahmi. Meski memang, kakek dan nenekku telah meninggal bertahun-tahun. Kalau dulu kami harus mendatangi satu per satu rumah saudara, kini kami tak perlu lagi melakukannya. Semua akan bertemu di reuni keluarga ini. Reuni yang diadakan di rumah salah satu kerabat ayah yang paling kaya.

Mulanya, aku sangat bersemangat mengikuti acara ini. Aku membayangkan bisa bertemu banyak saudara dan memakan aneka masakan dengan lahap. Tapi, melihat apa yang dilakukan orang-orang itu, rasanya pikiranku berubah.

Lebih baik, aku mendatangi rumah mereka lagi. Aku jadi bisa tahu siapa keluarga jauhku. Kami bisa bercerita lama dan saling bertukar pikiran mengenai kehidupan masing-masing. Tak hanya itu, kadang, aku bisa belajar dari apa yang mereka kerjakan sehari-hari. Memanen padi, mencari daun untuk obat-obatan, hingga memasak makanan tertentu.  

Baca juga: Cerpen | Kampung Keramat

Membicarakan makanan, ingatanku lalu beralih kepada salah satu famili yang dipanggil oleh ayah sebagai bek atau budhe. Namanya Bek Lastri. Ia seorang janda dengan tiga orang anak yang sudah berkeluarga. Bek Lastri tinggal sendiri dengan berjualan sego megono di pasar.

Ah, aku suka sekali makanan ini. Kala aku datang ke rumahnya, Bek Lastri telah mempersiapkan nasi yang dikukus dengan bumbu lombok, kencur dan jeruk purut ini. Aku yang tak doyan rebung mendadak menjadi suka berkat tangan dinginnya mengolah rebung dan nangka muda sebagai sayur pelengkapnya.

Di rumahnya yang hanya sebesar kamar tidurku dan adikku, aroma harum dari sego megono terus mengepul seantero ruangan. Ia sangat suka denganku lantaran menurutnya wajahku mirip dengan anak tertuanya yang kini tinggal di Kalimantan. Sudah sepuluh tahun anak-anaknya tidak pulang ke kampung.

Oh ya, di mana Bek Lastri sekarang? Ini sudah tahun keenam dan sejak tahun ketiga ia tak menampakkan batang hidungnya di acara reuni keluarga. Aku sempat mencari keberadaannya di dapur dan deretan keluarga wanita. Tak kutemukan sosok yang selalu menebar senyum kala tubuhku berlari mendatanginya.

"Cah Bagus, mau makan berapa bungkus?"

Ya, kalimat itu masih terngiang-ngiang hingga aku memasuki bangku kuliah sekarang. Di reuni kala itu, aku memang menemukan sego megono yang dibungkus daun pisang begitu rapi. Tapi, aku tak berniat memakannya barang secuilpun. Aromanya tak seenak buatan Bek Lastri.

"Bek Lastri sedang berobat. Di rumah sakit. Tidak ada yang boleh menemuinya," kata Yu Pat, salah satu anak dari kerabat ayahku singkat kala aku bertanya keberadaan wanita itu.

Berobat untuk apa? Sakit apa dia? Mengapa tak ada yang boleh menemuinya?

Aku kembali ke barisan keluarga pria dan lagi-lagi mendapati saudara jauh yang semakin besar menjadi lebih sibuk dengan gawai mereka masing-masing. Orang tua pun semakin riuh dengan apa yang mereka punya.

Dari sekelumit pembicaraan yang kudengar, kini masalah warisan menjadi topik hangat yang diperbincangkan. Siapa yang memulai, yang jelas tanah dari mendiang sesepuh yang beberapa tahun lalu masih memimpin jalannya pengajian di reuni keluarga ini menjadi perdebatan mereka.

"Itu seharusnya memang bukan bagiannya Bek Lastri. Dia saja yang bersikukuh".

Aku terkejut kala mendengar sebuah ujaran itu. Apa ini berkaitan dengan ketidakhadiran Bek Lastri beberapa tahun terakhir ini?

Aku semakin mendekati mereka yang tengah berbincang. Sawah, ladang, dan beberapa pekarangan menjadi bahan pergunjingan. Suara-suara itu seakan menenggelamkan suara pengajian yang dengan setia dilantangkan oleh beberapa sesepuh. Berpadu kontras dengan para saudara jauh yang sesekali tertawa dan tersenyum simpul menatap chat di gawai masing-masing.

Aku semakin heran dengan acara reuni itu. Lambat laun, tak banyak yang bisa aku dapat di sana. Hingga akhirnya pada tahun kesebelas, ayahku memutuskan tidak akan pulang. Ia bahkan tidak ingin lagi ikut acara reuni itu.

"Kalau kau ingin pergi ke sana, pergilah!" kata ayah saat aku menanyakan alasan ketidakhadirannya.

Aku pun memutuskan pergi ke desa kelahiran ayah itu sendirian. Tapi aku tidak berniat menghadiri reuni itu juga. Buat apa?

Aku hanya berniat mencari lebih jauh keberadaan Bek Lastri karena penasaran apa yang terjadi padanya. Aku ingin merasakan sego megono yang sudah bertahun-tahun tak kusantap. Pagi buta, pada hari kelima Idulfitri, aku pun berangkat ke desa di kaki gunung itu.

Goncangan bus yang membawaku ke tanah kelahiran ayahku semakin hebat. Aku telah sampai di jalan berliku antara kota tempat tinggalku dan desa ayahku. Pertanyaan demi pertanyaan masih belum terjawab. Mengapa Bek Lastri tiba-tiba menghilang dan kenapa ayah mendadak tak ingin ikut reuni. Ayah juga tak banyak tahu tentang Bek Lastri. Ia hanya mengatakan Bek Lastri sakit keras dan tidak boleh ada yang menjenguknya. Apakah ia sakit TBC?

Di tengah pergumulan pertanyaan itu, sebuah pesan WA masuk ke ponselku. Pesan itu singkat dan berasal dari ibuku.

"Bek Lastri meninggal".

Aku kaget. Sedih dan tak tahu harus berbuat apa. Bus yang melaju lambat seakan tak berniat mengantarku ke tempat tujuan. Hampir lima jam perjalanan aku lalui walau biasanya hanya perlu tiga jam saja.

Sesampainya di tempat reuni, suasana sangat sepi. Meja piring dan segala sampah berceceran begitu saja. Aneka macam sound system dan peralatan reuni tergeletak tanpa ada yang merapikan. Pintu rumah tempat reuni itu juga terbuka lebar. Hembusan terpal penutup para peserta reuni dari terik sesekali melambai tertiup angin. Tak seorang pun ada di sana. Apa yang sesungguhnya terjadi?

Aku masih gamang untuk berjalan ke mana. Arah menuju rumah Bek Lastri pun aku tak terlalu hafal. Hanya jalan setapak dari rumah reuni itu yang aku ingat.

Akhirnya, aku berkesimpulan untuk menyusuri jejak alas kaki yang masih membekas di jalan setapak itu. Jejak-jejak itu tak teratur mengarah ke kebun kopi, menyusuri ladang yang masih sedikit basah, hingga berakhir di sebuah tanah lapang. Di situlah letak rumah Bek Lastri yang samar-samar aku ingat.

Benar saja, orang-orang dari acara reuni keluarga itu berkerumun di sebuah rumah kecil yang berada di dekat sebuah pohon nangka. Pohon yang buahnya Bek Lastri gunakan untuk membuat sego megono. Ia dulu tak berpikir panjang untuk memberikan nangka muda yang baru saja berbuah kepada ibuku.

Kala aku memasuki rumah berdinding kayu itu, orang-orang masih berbisik satu sama lain. Beribu tanya masih belum bisa terjawab di pikiranku. Dengan secepat kilat, aku mendekati tubuh ringkih Bek Lastri. Tubuh itu terbujur kaku di atas dipan kayu miliknya yang dulu sering aku gunakan untuk makan. Ia belum dibungkus kain kafan.

Aku mendekatinya dan kulihat wajahnya tak seayu dulu. Kerutan semakin banyak menghiasi keningnya dan sebuah luka tergores tepat di lehernya. Luka yang memberiku jawaban mencengangkan.

Bek Lastri meninggal karena gantung diri. Ia depresi anak-anaknya tak kunjung pulang di belasan Idulfitri. Aku semakin ternganga kala melihat sebuah alat pasung tergeletak tak jauh dari dipan itu. Seakan menjadi saksi bisu sisa hidupnya yang tak ada seorang pun mau menemaninya.

 

****

7 Comments

  1. ya ampun tercengang aku sebab ninggali bek lastri...la takirain kena pandemi..jebul.....? oh my god...padahal sedurunge aku terbayang nasi megono yang dicampur thewel atau nangka muda juga paduan bumbu kencurnyabitu loh...melas men bek lastri..kira kira depresine amarga apa ya?

    mendadak kayak film dibiarkan menggantung hihi


    beydewey aku biyen due hape symbian mas hahahhaaha...tenan...hapene abot loh

    eh sek..kelas 9 ki smp kan ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. hmmm karena apa ya mbak hehehe
      iya nasi megono iko ancen enak banget dan pas buat sarapan hmmmm

      ahhahaha iya mbak klas 3 SMP saiki kan kelas 9

      Delete
  2. Akhir yang amat menyedihkan.

    Bicara mengenai orang tua yang kepengin ditemani anaknya saat usia senja ini sering bikin saya berpikir ulang terkait keputusan pergi dari rumah. Dulu, saya kepengin banget jauh dari orang tua, terus berusaha menengok mereka 1-2 bulan sekali. Tapi sampai hari ini belum saya lakukan karena beberapa pertimbangan. Sekalipun ketika nikah nanti pasti bakal pergi juga, sih. Paling enggak, sementara ini kepengin memanfaatkan waktu sebaik-baiknya selama masih tinggal dengan mereka.

    ReplyDelete
    Replies
    1. saya sudah ngalami mas
      ya ada enak engga enaknya
      tapi suatu hari kan kita juga harus meninggalkan mereka ya
      mau gimana lagi

      Delete
  3. Ternyata bek Lastri tidak nongol selama ini di reuni keluarga karena di pasung ya?

    Tapi sepertinya ia tidak meninggal bunuh diri, mungkin dibunuh agar ia tidak mendapatkan warisan keluarga lalu digantung agar dikira bunuh diri.😱

    ReplyDelete
    Replies
    1. mas agus keren nebak plot twisnya
      pantes si udah biasa nulis cerpen :)

      Delete
    2. ya ampun gilaaaak keren banget analisanya.....sumpaaaaah

      Delete
Next Post Previous Post