Belajar Pengalaman Buruk Menaiki Bus Bumel dari Channel You Tube Bus Mania

Sketsa suasana bagian luar terminal tempat bus ngetem

Sejak pandemi melanda, menaiki bus keluar kota adalah salah satu andalan saya.

Alasannya, saya tak perlu melakukan rapid tes, rapid antigen, swab PCR, dan kawan-kawannya seperti yang harus dilakukan pada perjalanan kereta api. Saya pun mendadak menjadi Bus Mania dari asalnya yang bisa dikatakan Railfans sejati.

Lantaran masih baru, maka pengetahuan saya di dunia transportasi bus amatlah minim. Sering tertipu calo hingga waktu perjalanan yang jauh lebih lama dibandingkan kereta api kerap membuat saya kapok. Alhasil, saya pun memilih menaiki travel yang harganya jauh lebih mahal.

Kalau sekali dua kali sih tak masalah. Kalau sebulan saya 4 kali bolak-balik dari Malang, Surabaya, dan Jogja, wah lama-lama saya bisa tekor. Maka dari itu, saya perlu belajar lebih jauh lagi agar bisa mengetahui kondisi lebih jauh dalam transportasi ini.

Cara belajar yang paling mudah adalah dengan menonton channel You Tube. Sambil rebahan di atas kasur, saya pun tinggal memilih berbagai channel bus mania yang bisa saya saksikan. Nah, diantara sekian channel bus mania, saya paling suka menonton channel Faiza Opticruise.

Alasan saya menggemari channel ini adalah tidak hanya menampilkan hal yang baik-baik saja. Biasanya, channel bus mania kerap menayangkan perjalanan bus yang bisa dikategorikan baik dan bahkan mewah. Semisal, menaiki bus sleeper atau double deker kelas VIP. Berhubung saya adalah penglaju yang kerap menaiki bus ekonomi, maka preferensi saya pun juga kepada channel YT yang mengunggah perjalanan bus kelas tersebut. Untuk itulah, channel Faiza Opticruise adalah jawabannya.

Channel ini lebih banyak membahas pengalaman buruk bahkan pahit ketika menaiki bus kelas ekonomi atau bahkan bus bumel. Bumel merupakan kepanjangan dari bahasa jawa “melbu kumel” yang berarti ketika masuk ke bus, maka kita harus siap-siap menjadi kumel atau lusuh dan kotor. Hal ini disebabkan karena kondisi bus yang sesak, tidak ber-AC, dan dipenuhi penumpang dari segala penjuru, termasuk hewan ternak sekalipun.

Channel ini kerap membagikan berbagai pengalaman pahit ketika menaiki bus kelas ekonomi atau bahkan kelas bumel. Apa saja itu?

Pertama, harga karcis yang tidak sesuai standar. 

Jalur yang kerap mendapat sorotan dari channel ini adalah jalur Jember-Banyuwangi dan sebaliknya. Jika biasanya tarif karcis normal jurusan ini adalah 30 ribu rupiah, maka dalam beberapa kali kesempatan, sang pengunggah video ditarik karcis antara 40 hingga 80 ribu rupiah.

Kedua, waktu bus ngetem yang membuat semua penumpangnya harus benar-benar bersabar.

Selain tarif karcis yang benar-benar tak masuk akal, seringkali bus tersebut melakukan ngetem atau berhenti mencari penumpang dalam waktu yang sangat lama. Pengalaman paling mengerikan yang dibagikan oleh channel ini adalah mengalami waktu ngetem hingga 4 jam lebih. Lamanya waktu ngetem dari video yang saya tonton lantaran bus kembali lagi masuk ke dalam terminal setelah berjalan beberapa kilometer keluar dari terminal.

Jadi, jika digambarkan dalam sebuah narasi singkat, mula-mula bus ngetem di dalam terminal selama sekitar 1 jam. Lalu keluar terminal dan ngetem di deretan warung selama 1 jam. Bus berjalan dan melakukan putar balik di sebuah SPBU kembali ke terminal. Bus ngetem kembali di dalam terminal selama 1 jam. Kemudian, bus kembali ngetem di deretan warung selama 1 jam.Di sela-sela ngetem, tak jarang bus dan kondekturnya pergi meninggalkan penumpan di dalam bus untuk makan atau ngopi. Lah...

Pengalaman buruk selanjutnya adalah kondisi mesin bus yang seakan tidak layak jalan. 

Mulai dari deru mesin yang berdencit keras hingga bau asap mesin yang sangat menusuk. Tanda bahwa ada yang tidak beres pada bus yang sebenarnya tidak layak jalan tersebut. Kondisi buruk tersebut belum termasuk tidak berlakunya protokol kesehatan di dalam bus semisal tidak adanya jarak antar penumpang dan banyak diantara mereka yang tak mengenakan masker.

Saya belajar banyak dari apa yang diunggah oleh channel tersebut. Pelajaran penting bahwa transportasi darat kita – terutama bus – masih perlu banyak pembenahan. Kondisi tersebut juga kerap saya alami ketika saya naik bus dari Jogja Kota menuju ruko tempat tinggal saya. Atau, ketika saya naik bus dari Terminal Bungurasih menuju pusat kota Surabaya. Panas, tidak nyaman, perlu waktu lama, dan kadang dipatok tarif tak sebagaimana mestinya. Kombinasi yang sangat berkontradiksi dengan tagar yang didengungkan oleh para buzzer transportasi beberapa waktu silam yang kerap muncul di Twitter.

Suasana di dalam bus bumel di Kota Surabaya
Suasana di dalam bus bumel di Kota Surabaya

Dari channel bus ini, saya bisa menandai PO (perusahaan otobis)  mana saja yang bisa saya gunakan untuk bepergian. Lantaran, tidak semua PO bus melakukan tindakan yang semena-mena terhadap penumpangnya. Ada juga yang masih menarik tarif wajar dan melakukan ngetem tidak terlalu lama.

Saya pun belajar untuk bisa memperkirakan waktu keberangkatan bus yang sekiranya lebih berpeluang mendapatkan bus dengan kondisi baik. Semisal, menghindari waktu keberangkatan bus yang terlalu pagi atau terlalu sore karena biasanya pada waktu-waktu tersebut sering digunakan oleh oknum tidak bertanggung jawab untuk mendapatkan keuntungan maksimal dengan kondisi bus yang memprihatinkan.


Meski demikian, saya juga belajar di tengah kebobrokan yang terjadi di transportasi bus ini, ada alasan kuat mereka – para penarik bus – melakukannya. Tak lain lantaran himpitan ekonomi terutama di masa pendemi. Mereka pasti mengejar setoran sementara jumlah penumpang turun drastis.

Dalam channel ini, kerap digambarkan penumpang trayek Jember-Banyuwangi tidak sampai 10 orang dalam 1 kali perjalanan. Bahkan, pernah selama hampir beberapa jam ngetem, hanya pembuat video ini yang menaiki bus apes tersebut. Tentu, jika dihitung dengan ongkos perjalanan semisal solar dan lain sebagainya, maka pendapatan yang diperoleh sopir dan kernet tidak akan mencukupi.

Atas alasan inilah, pada beberapa bus ketika mereka telah sampai pada titik atau terminal tertentu, mereka akan dioper ke bus depan atau belakangnya. Saya sendiri pernah mengalaminya ketika menaiki bus kota dari Bungurasih. Sudah menunggu bus ngetem lama, eh saat baru berjalan beberapa meter saya dan beberapa penumpang lain dipaksa untuk pindah ke bus belakangnya dengan alasan tidak menutup biaya solar. Alhasil, saya pun menunggu lama lagi bus belakang yang juga ngetem lama. 

Akhirnya, saya kini memutuskan jika akan menaiki bus kota di Surabaya, lebih baik saya menunggu di luar terminal sambil ngadem di sebuah mini market. Toh mereka juga akan ngetem di depan minimarket tersebut. Lumayan kan dibuat santai sambil minum Yoghourt dan makan cemilan. Daripada stress menunggu bus ngetem.

Di balik kekusutan yang diuraikan oleh channel ini, sesungguhnya bisa dijadikan momen perbaikan ke depan mengenai transportasi bus. Ya kali, sudah 2021 transportasi bus masih saja seperti tahun 80an. Makanya, ada beberapa hal yang bisa dijadikan perbaikan terutama oleh pengelola bus, entah PO atau Dinas Perhubungan.

Pertama  mengenai peremajaan armada. 

Ini menjadi hal utama yang harus dilakukan karena berhubungan dengan faktor keamanan dan keselamatan penumpang. Peremajaan ini tidak harus dilakukan secara menyeluruh melainkan secara bertahap yang penting pada akhirnya semua bus di trayek yang masih bumel dan mengeluarkan suara mesin kendaraan yang kencang bisa segera terganti.

Kedua, waktu ngetem bus benar-benar harus diperbaiki. 

Ngetem boleh asal jangan keterlaluan. Bus Malang-Surabaya yang dikenal ramai memiliki waktu ngetem yang cukup singkat dan bisa dijadikan acuan. Pengelola bisa menyepakati waktu maksimal untuk ngetem di tempat tertentu, semisal dalam terminal, luar terminal, atau beberapa tempat strategis lain. Jangan ada lagi bus yang melakukan ngetem sebanyak 2 kali putaran lantaran ini bukan sirkuit Sepang.

Ketiga, masalah karcis yang tidak sesuai aturan juga perlu diperbaiki. 

Apresiasi kembali saya berikan kepada bus Malang-Surabayaan yang melakukan double check tiket pada penumpang beberapa saat sebelum turun. Ada seorang petugas dari PO yang naik untuk melakukan pengecekan tersebut. Mereka meminta satu per satu menunjukkan tiket mereka sambil ditanya asal dan tujuan. Ia pun kemudian mengkonfirmasi harga yang telah dibayarkan. Jika tidak sesuai, maka ia akan memanggil kondektur bus yang telah menarik tiket tersebut untuk mengecek kebenarannya.

Kegiatan ini, meski sepele sangat penting untuk mengindari penarikan tarif karcis bus yang tidak sesuai dengan harga aslinya. Kasihan juga jika ada penumpang yang membawa uang pas-pasan, terutama mahasiswa atau pelajar dan kemudian ditarik karcis melebihi harga semestinya. Saya sendiri pernah kena seperti ini saat menaiki bus Jogja-Malang. Tarif normal yang saat itu hanya 120 ribu rupiah harus saya tebus dengan 160 ribu rupiah. Lumayan kan 40 ribu bisa digunakan untuk makan?

Itulah beberapa poin masukan kepada bus-bus ekonomi atau bus bumel agar bisa ditindaklanjuti. Jikalau memungkinkan, model seperti BRT Trans Jateng yang memberikan pelayanan prima; tiket murah, armada bus ber-AC, dan ketepatan waktu bisa jadi acuan. Tentu, upaya reformasi besar-besaran seperti BRT tersebut akan mengalami banyak tantangan lantaran beberapa jalur bus sudah menjadi semacam mafia perjalanan selama bertahun-tahun.

Walau begitu, jika hal ini terus dibiarkan, maka penumpang akan kapok dan memilih moda transportasi lain, semisal kereta api, travel, atau kendaraan pribadi. Bus pun yang kini sudah sepi akan semakin habis penumpangnya karena sudah tidak dipercaya lagi.

Lalu, bagaimana menurut Anda? Pernahkan mengalami hal buruk saat menaiki bus ekonomi atau bus bumel? Cerita yuk.  

15 Comments

  1. Jujur, saya malah jarang bgt naik bus, paling sering angkot atau minibus, itu setiap hari saya lakukan pulang pergi berangkat kerja... ternyata ya byk kisah2 yg baik dan buruknya bus itu...

    ReplyDelete
  2. wah, pengalaman bermanfaat nih mas, dan untuk para pembaca bisa di jadikan referensi terlebih dahulu sebelum berangkat menggunakan bus agar tidak terkejut ketika tiba di sana, mulai dari tarifpun sudah berbeda,..heem, sepertinya pemerintah harus turun tangan nih mengatur tarifnya agar lebih transparan, he-he

    ReplyDelete
    Replies
    1. benar mas semoga pemerintah bisa turun tangan ya

      Delete
  3. Saya jarang banget naik bus, mepet kemarin naik pas kereta dibatasin dan harus swab.

    Akhirnya nyoba naik kereta, eh, laptopku ilang wkwkw

    ReplyDelete
    Replies
    1. walah kok bisa mas
      sudah cek CCTV dalam kereta?

      Delete
  4. sejak gw kerja merantau pulang perginya selalu naik bis mas, dan sampai sekarang untungnya belom pernah mengalami kejadian buruk :D

    ReplyDelete
  5. Ihh samaan kita.. penyuka Bis. Kemarin yah pas main ke Jakarta naiknya Bis.
    Dan benar sama yang Mas Ikrom jabarin soal kelayakan bis.. hhmmm PR banget soalnya. Aku sering banget dpet bis yg kondisinya yah gtu lah... 😁 sama kalau ngetem Ya Allah... luaaamaaa bangettt.
    Kadang jadinya kesel sndiri.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas kesel ya akdang tapi ya gimana engga ada pilihan lain haha

      Delete
  6. Pernaaaah, dan itu yg bikin aku trauma naik bus, dan lebih milih angkutan lain. Pas kecil sih, wkt msh tinggal di deh. Diajak ke suatu tempat yg kurang lebih 1 jam perjalanan dr rumahku. Tapi naik bis. Itu pengalaman pertama. Cm yg bikin aku jijik, busnya kecil, ga ber-AC, ruameee, daaaan di tempat duduknya yg robek2 ada siput LG jalan, OMG!! Aku yg pad dasarnya jiji'an Ama yg begitu2, makinlah merinding mas.

    Sejak itu aku bener2 pemilih kalo naik bis. Trans J aku msh mau naik Krn bersih, tempat duduknya mostly kayak kereta api, bukan yg hadap depan. Kalopun aku milih naik bus, aku pasti pilih yg seatnya 2-1, Krn pasti besar, luas, bersih dan luxury biasanya. Ga masalah lebih mahal, yg ptg buatku nyaman. Kalo tempatnya udh 3-3 ato 3-2, bhaaay, msh merinding hahahahaha .

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahahahhaha I feel you mbak
      apalagi kelas bumel ya itu pada robek bangkunya

      ttrans J sama trans lain aku juga masih oke
      dan pasti dibersihkan juga setiap hari

      kalau kepepet, baru yang jursi 3-2
      kaleu engga, sama mbak bhayyyy hahahhaha

      Delete
  7. Kalau studi pun zaman study dulu, memang kerap saya naik bus sebab saya belajar di kuala lumpur. hampir setiap bulan pulang ke kampung. kadang kala terlewat membeli tiket, ia kehabisan. jadi saya terpaksa naik bus 'lompat-lompat' atau bus 'sambung-sambung' (bertukar-tukar bus banyak kali) sama ada untuk sampai di kampung atau tiba di KL. paling saya ingat, saya termuntah dalam bus sebab tak sihat hahaahha

    ReplyDelete
    Replies
    1. nah iya mbak naik bus sambung menyambung'
      harus benar benar patient ya
      saya jadi pengen cuba bus di KL
      semoga kapan kapan bisa

      Delete
  8. Ya masalah ngetem lama itu yang sulit dibenahi kalau tidak ada subsidi dari pemerintah. Kembali ke masalah biaya operasional mas, kalau tidak tercukupi mereka akan melakukan berbagai cara untuk mengurangi pengeluaran.

    Kalau dipaksa, bisa jadi justru ugal-ugalannya mereka di jalan dan ini beresiko terhadap para penumpang.

    Peremajaan bis perlu, tetapi butuh biaya dan itu tidak bisa dilakukan kalau jumlah penumpang terus sedikit.

    Mungkin yang bisa dilakukan dulu adalah perubahan rute agar penumpang dari trayek yang searah bisa digabung. Dengan begitu pemasukan perusahaan otobus lebih besar dan masih ada keuntungannya. Barulah mereka bisa berpikir untuk meremajakan armada.

    Kalau tidak saya pikir sih akan tetap jadi lingkaran setan.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post