Empat Hari Tiga Malam di Puerto Rico (aka Purwokerto) - Bagian 1

Sudah lama saya tidak menulis pengalaman jalan-jalan keluar kota.


Maklum, sejak corona melanda saya jarang bepergian jauh. Saat membuka file lama, saya menemukan foto saat perjalanan liburan ke Puerto Rico alias Purwokerto. Saya pun ingat perjalanan ke kota semu ini belum saya tulis.

Tujuan perjalanan saya ke PWT sebenarnya hanya gabut karena libur panjang natal dan tahun baru pada akhir 2018. Tidak hanya itu, ketika saya niat menulis buku, PWT alias Daerah Operasi 5 dalam tata perkeretaapian adalah satu-satunya wilayah yang belum saya jelajahi.

Berangkat dari Jogja....

Untungnya, saya masih bisa mendapatkan tiket dari Jogja dengan harga cukup murah. Hanya dengan 74 ribu rupiah, saya mendapatkan tiket kereta api Bengawan kelas ekonomi tujuan Jakarta. Kereta yang berangkat dari Solo ini akan menaikturunkan penumpang di Stasiun Lempuyangan.

Maka, saya meminta sepupu saya untuk mengantarkan saya ke sana. Sayangnya, dia sedang ada halangan jika mengantar saya pada sore hari. Akhirnya, saya pun nebeng padanya sebelum salat Jumat dan diturunkan di depan Monjali. Lah, baru saja sampai di sana, tiba-tiba hujan turun deras. Saya yang tak membawa payung pun harus rela berbasah-basahan sembari mencari tempat berteduh.

Untungnya, saya bisa segera masuk halte Trans Jogja dan langsung menuju pusat kota untuk salat Jumat. Namun, penampakan saya yang seperti kucing baru masuk sumur sungguh tidak mengenakkan. Untung saja, hujan saat itu hanya turun sebentar dan digantikan dengan panas matahari yang terik. Selepas salat jumat di sektaran Jalan KH Ahmad Dahlan, saya pun memutuskan langsung berangkat ke stasiun. Maklum, Trans Jogja tidak bisa diprediksi ya Bund. 

Basah seperti kucing masuk sumur bund.

Hampir setengah jam menunggu, saya akhirnya bisa naik Trans Jogja trayek 10 yang pemberhentiannya di depan Stasiun Lempuyangan. Untunglah, kereta masih datang sekitar 1 jam lagi. Lantaran sudah membawa bekal cukup dari ruko, saya tidak membeli makanan lagi.

Sambil menonton lagu-lagu JKT48, saya menunggu di peron. Tak terasa, kereta pun tiba. Kereta saat itu amat penuh karena bertepatan dengan libur natal. Banyak warga yang kembali ke Jakarta atau Cirebon dengan naik kereta murah ini. 

Menunggu kereta datang

Perjalanan selama 3 jam tersebut benar-benar saya nikmati karena bertepatan dengan senja hari. Petak Yogyakarta-Kutoarjo begitu indah. Di sepanjang mata memandang, hamparan sawah dan pergunungan menjadi teman setia perjalanan. Kereta sempat berhenti cukup lama di Stasiun Kutoarjo karena harus bersilang dengan kereta kelas eksekutif yang derajatnya lebih tinggi. Walau menunggu lama, lumayan juga bisa saya gunakan untuk sesi photoshoot. Hujan gerimis nan syahdu membuat sesi pemotretan tersebut menjadi semakin saya hayati dengan penuh penjiwaan. 

Sesi pemotretan dulu ya bund

Ketika kereta berjalan kembali, tetiba saya mengantuk dan tertidur sebentar. Saya baru bangun ketika ada telepon masuk yang ternyata dari Mas Iman. Mas Iman ini adalah Puerto Rican (warga Purwokerto) yang saya hubungi untuk mengantar saya jalan-jalan di sana. Saya random mencari tukang ojek online yang bisa mengantar saya. Eh Alhamdulillah saya menemukan Mas Iman dan kami deal dengan harga 150 ribu per hari sebagai ongkosnya. Sudah termasuk bensin pula. 

Bertemu dengan orang Purwokerto yang baik hati

Mas Iman mengatakan bahwa ia tak dapat mengantarkan saya tetapi sebagai gantinya adiknya yang menjalankan tugas tersebut. Tak apalah siapa saja yang penting ada yang mengantarkan saya. Ia juga mengatakan bahwa akan menjemput saya di stasiun dan mengantarkan saya ke penginapan. Lah saya kaget padahal sesuai perjanjian saya baru diantar keesokan harinya. Saya jadi tidak enak terlebih saat itu hari sudah malam. Namun, Mas Iman mengatakan itu sudah termasuk pelayanannya. Saya pun benar-benar dijemput di stasiun dan diantarkan ke penginapan dengan selamat. Orang Purwokerto baik-baik ya.

Penginapan saya terletak di Buaran, Purwokerto Utara. Letaknya berada tepat di tepi jalan raya Baturraden. Penginapan ini berupa hostel dengan harga kamar per malam sekitar 100 ribu rupiah. Harga tersebut sudah termasuk sarapan. Lantaran saya lupa saat memesan bed bawah, maka saya harus menambah biaya ganti bed seharga 10 ribu untuk tiap malam. Tak apalah daripada saya repot naik ke bed atas. Mana saya gemuk lagi. 

Penampakan kamarnya

Ada musalanya juga

Fasilitas penginapan tersebut cukup lengkap. Kamar mandi bersamanya banyak sehingga tak perlu antre lama. Air panas di dalam kamar mandinya juga mengalir lancar. Yang saya suka Musalanya juga cukup luas dan ada tempat makan dengan jumlah kursi banyak. Terekomendasi pokoknya jika ada yang ingin berjalan-jalan ke Puerto Rico. Eh Purwokerto maksudnya. 

Sarapan gratis di penginapan

 
Ruang makan di penginapan

Perjalanan mennapaktilasi jalur kereta api dimulai....

Keesokan paginya, setelah sarapan, saya dijemput oleh adik dari Mas Iman yang bernama Dimas. Ternyata ia masih duduk di bangku kelas 2 SMK dan sedang libur sekolah. Lah, ini ceritanya saya jalan-jalan sama brondong ya. Meski masih SMK, pengetahuannya akan tempat wisata di sekitar Purwokerto dan Banyumas cukup tinggi. Ia paham tempat-tempat mana saja yang menjadi tujuan awal saya. 

Bagian depan penginapan dengan Gunung Slamet samar-samar

Mula-mula, kami berjalan menyusuri jalur kereta api Purwokerto-Notog yang sejajar dengan Sungai Logawa. Dari Kota Purwokerto, kami berjalan ke arah Cilacap sembari sesekali mampir ke landmark Kota Purwokerto untuk berfoto.

Perlu diketahui, Purwokerto adalah salah satu kota semu di Indonesia. Dikatakan kota semu karena sebenarnya tidak ada tata pemerintahan kota otonom bernama Purwokerto seperti Malang, Surabaya, atau Solo. Purwokerto adalah gabungan beberapa kecamatan yang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Banyumas. Jadi, kota ini sebenarnya masih bagian dari kabupaten tersebut.

Lantaran bukan merupakan kota otonom, maka saya tidak menemukan batas kota seperti yang kerap saya temui di kota lain. Tiba-tiba saja, saya sudah berada di wilayah Patikraja. Di sini, saya singgah sebentar di Lapangan Desa Patikraja. Lapangan ini amat luas dan berada dekat dengan pertemuan beberapa sungai besar, antara lain Kali Serayu, Kali Logawa, dan Kali Banjaran. Menurut beberapa sumber sejarah, Lapangan Patikraja ini dulunya adalah gudang tembakau pada masa kolonial Belanda.
 

Lapangan Patikraja

 
Kereta api tujuan Jakarta yang berhenti karena ada sedikit masalah.


Gudang ini juga berdekatan dengan halte kereta api Patikraja sebagai transportasi untuk mengangkut hasil bumi dari dan ke wilayah Karasidenan Banyumas. Sayangnya, keberadaan persis halte tersebut masih simpang siur karena tak ada jejak berarti. Meski demikian, saya masih semangat menapaktilasi jalur kereta yang sejajar dengan aliran Sungai Logawa dan menjadikan awal mula persatnya Kota Purwokerto.

Perjalanan pun saya lanjutkan menuju Pasar Patikraja dan Stasiun Notog. Di sepanjang jalan, pembangunan jalur ganda saat itu masih berlangsung. Para pekerja masih asyik menempelkan bantalan rel agar perjalanan kereta jalur selatan dari dan ke Jakarta semakin cepat. 

Pekerja pemasangan jalur rel ganda

Kontur jalan yang berbukit

Sebelum sampai di Pasar Patikraja, saya singgah sebentar di Bendungan Gerak Serayu. Bendungan ini menjadi nyawa bagi para petani di sekitar Banyumas dan Cilacap. Bendungan tersebut saat saya datangi dalam kondisi deras karena hujan yang turun malam sebelumnya. Sayang, tak banyak hal yang bisa saya nikmati karena kondisi arus yang amat deras dan cenderung berbahaya. 

Bendungan Gerak Serayu


Saya melanjutkan perjalanan ke arah selatan melewati medan berliku sepanjang Perbukitan Serayu Selatan. Hingga sekarang, saya masih takjub dengan proyek inisiasi jalur kereta api di wilayah ini. Saat masih berada di dalam kereta, saya merasakan kereta dalam kondisi miring karena elevasi tanah yang amat terjal. Berkat inisiasi ini, Kota Purwokerto menjadi semakin ramai dan membuat Kota Banyumas yang sebelumnya ramai menjadi sepi. 

Jembatan KA di atas Sungai Logawa yang menghubungkan kereta dari arah Maos dan Jakarta


Namun, cerita lebih lanjut tentang hal itu akan saya bahas pada bagian selanjutnya. Yang jelas, saya kemudian tiba di Pasar Patikraja yang begitu ramai. Saya meminta Dimas untuk melanjutkan perjalanan ke Stasiun Notog. Di sini, pengalaman pahit tak terlupakan pun saya alami.

Ketika mengira stasiun tersebut sepi dan boleh dimasuki, saya pun lantas mengambil banyak foto dengan santai. Tiba-tiba, seorang pria berseragam mendatangi saya dan menegur saya untuk menghapus foto tersebut. Ia adalah kepala stasiun tersebut yang menanyakan asal usul dan keperluan saya datang ke sana. 

Foto dulu


Ternyata, kita harus memiliki surat resmi jika ingin mengambil foto di sana. Tidak hanya itu, foto yang digunakan bukan untuk foto komersial alias hanya untuk kepentingan pribadi. Wah, saya jadi tidak enak tetapi untungnya saya masih boleh mengambil foto dari luar stasiun. Nah, untuk aturan dan hal-hal yang perlu diketahui dari pengambilan foto di stasiun akan saya paparkan pada unggahan lain waktu ya. 

Peron Stasiun Notog dengan latar perbukitan. Meski tidak digunakan untuk naik turun penumpang tetapi stasiun ini digunakan untuk bersilang kereta terutama yang baru melewati Terowongan Notog dan Kebasen.

Di sekitar Stasiun Notog ada sebuah lapangan besar yang cukup apik. Dengan rumput hijau yang tumbuh subur, lapangan tersebut digunakan anak-anak untuk bermain sepak bola dan bersepeda. Enak juga ya bisa bermain di lapangan dan menyaksikan kereta lewat di dekat stasiun. Perpaduan kegiatan bermain yang menyenangkan. 

Lapangan yang syahdu


Saya memutuskan segera pergi ke Banyumas karena hari mulai terik. Dimas menggeber motornya kembali ke Pasar Patikraja. Namun, kini kami memilih jalan ke arah timur mengikuti aliran Sungai Serayu. Setibanya di sebuah jembatan besar setelah berjalan sekitar 20 menit, saya amat kaget dengan apa yang saya saksikan. Apa itu?

Tunggu kisah selanjutnya ya…

15 Comments

  1. asyiiikkk seharian jalan ambi berondong Dimas adeknya mas iman keliling pwt...wkwkkwkw

    maa ikrom aku juga nek kelingan monjali pesti nitenine mendung terus gampang udan ya'e daerahe..


    nek neng kutoarjo iki deket rumahku wkwkkw

    enak mas krom penginepane deket baturaden...tapi kamare kok ada bed atas mbarang? iki guess house apa hotel ya...kwlihatane nek penginepan daerah situ emang syahdu syahdu ya soale hawane asrep pegunungan..duh pengen jalan jalan daerah puerto rico hihi...eh purwokerto deng

    ditunggu mas part ke 2 ne :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mbk aneh yow
      dari rumahku di tempel masih cerah lah pas mrono dadak udan
      engga sepisan pindo hahah

      oh ya Kebumen ya pankapan tak mrono dulin hahah

      iku modele asrama mbak dadi onok bed atas bawah

      adem banget dan asik seger hahaha

      Delete
  2. Seru juga ya jalan-jalan keliling kota.

    Wah, kira-kira Mas Ikram liat apa ya? 🤔

    ReplyDelete
  3. seronoknya jalan-jalan guna keretapi.... kalau tidak kerana covid mungkin satu hari nanti saya akan sampai di sini ;-)

    ReplyDelete
  4. What a experience, halo.. excuse me.. tidak sengaja kesasar disini :)

    ReplyDelete
  5. Ihhh seruu beud.. ternyata ini kisah nostalgia yah mas..?
    Aku tuh salut sama Mas. Bisa ngebolang sendirian.. lah aku mah apa.. ke Jakarta sendirian aja pasti nyasar kebingungan.. haha

    Btw, Mas ini pakai jasa Ojek Online gtu milih random caranya gimna yah??

    ReplyDelete
    Replies
    1. hahaha iya mas nemu file lama belum aku tulis

      wkwkwkkw ini mah nekat aja dan deket2 aja si ke PWT masih di Jateng bismillah aja

      aku random aja cari di IG hastag ojek purwokerto gitu
      eh pas ada akun2 aku hubungi ada yang nyambung, deal, dan berangkat deh hehe

      Delete
  6. Oh catatan perjalanan dari 2018 ya, jadi kepikiran juga buat bikin soalnya banyak foto2 perjalanan dari sebelum pandemi tapi belum ada catatannya.

    Kalau ke Jogja, saya juga pakenya kereta ekonomi Kutojaya Selatan yg naik-turun di Lempuyangan itu, selanjutnya pake KA lokal. Pengen juga bisa nyusur DAOP 5 ini.

    Karena suka ngulik toponimi, tertarik sama penamaan Banjaran dan Notog. Kalau dari catatan sejarah, Banjaran tuh tempat buat pagelaran atau rame berjajar, di sini juga ada nama kecamatan. Nah, yg jadi pertanyaan, Notog kalau di bahasa Sunda artinya meluncur terjun atau turunan curam, apakah daerahnya emang seperti itu mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya mas ini foto lama
      sok atuh dibuat pasti seru kalo Mas Arif yang nulis

      Kutoarjo selatan jadi fav klo dari arah barat sama kayak Sri Tanjung klo dari timur soalnya murah

      klo ke pWT dari jogja bisa naik Joglosemarkerto atau naik Prameks dulu ke Kutoarjo. Klo lokal DAOP 5 belum ada si setauku

      iya aku juga penasan sama Notog tapi memang daerahnya curam mas
      klo pernah naik kereta lewat sini kan kerasa kereta e miring karena belok tajam apalagi di dekat terowongannya

      Delete
  7. woaa makasih jalan-jalan virtualnya kak Ikrom!
    seruuu bingit ngebolang sendirian begini... Terus kok bisa sewa ojek seharian gitu ya?? Kesepakatan terpisah dari aplikasi ojek daring gitu kah??

    hostel tempat menginapnya juga cukup murah ya. 100rb semalemnya. Eh tapi itu ada bed bawah maksudnya kasurnya bertingkat gitu kah??

    ReplyDelete
Next Post Previous Post