Random Life in Oktober



Jadi ceritanya saya lagi males nulis.

Sudah nulis berat-berat di bulan September-Oktober. Alhasil, ketika masuk bulan November, saya seakan kehabisan bahan bakar. Butuh jeda menulis sebentar tetapi bukan berarti berhenti menulis. Alias, lagi males nulis yang berat-berat.

Jujur, mood saya bulan Oktober kemarin naik turun. Mulai seneng, sedih, kecewa, kaget, campur aduk. Pokoknya bulan Oktober 2022 ini bisa dikatakan bulan roller coaster. Mungkin tidak hanya bagi saya melainkan Anda semua.

Dapat Job Gede dari Kompasiana

Awal Oktober saya isi dengan menyelasikan tugas Narativ dari Kompasiana. Sebenarnya sih tugas ini dimulai bulan September. Ceritanya, ada admin Kompasiana yang memberikan tawaran mengikuti event di sebuah desa wisata dengan bayaran 2 juta.

Tanpa ba bi bu langsung saya terima dong. Dua juta gitu. Hari gini masa resesi. Alhasil, saya pun mengikuti event tersebut dan mulai melakukan kewajiban. Namanya juga dibayar mahal tentu banyak yang harus saya kerjakan. Mulai menulis 2 artikel dengan kata kunci tertentu di Kompasiana. Share artikel di medos, buat video, dan lain sebagainya.

Pokoknya awal Oktober saya masih sibuk dengan berbagai tetek bengek tugas tersebut. Untungnya sih admin Kompasiana itu pengertian banget. Semisal, saya tidak bisa melakukan pekerjaan saat saya mengajar, maka mereka memberi dispensasi keesokan harinya. Yang penting masih bisa ditoleransi. Tentu, saya tetap mengerjakan dengan sebaik-baiknya dan alhamudillah lancar semua tugas terlaksana dengan baik dan honor cair dua minggu kemudian.

Perang dengan Buzzer saat Tragedi Kanjuruhan

Baru saja saya hepi dapat job nulis gede eh dapat berita buruk soal tragedy Kanjuruhan. Malangnya, teman saya meninggal dalam tragedi tersebut. Kebetulan juga istrinya juga masih hamil jadi saya seakan hilang rasa setelah mendengar berita itu.

Yang membuat saya gemes adalah para oknum halodek terus saja membuat ulah dengan memanipulasi pemberitaan dan beberapa diantaranya mengancam korban. Tak habis pikir, maka saya pun ikutan perang dengan mereka dengan terus menggaungkan #ACAB.

Antara pencitraan dan kecaman

Saya juga ikut memasang pamflet, baliho, dan poster #ACAB di berbagai tempat di sekitar rumah saya. Mulai depan rumah, depan kampung, dan kemarin sempat ikut memasang tulisan tersebut di depan kantor halodek. Saya juga ikut berperang melawan para buzzer yang masih saja menyalahkan korban di media sosial.

Jadi, jika ada buzzer tralala yang ketahuan oleh saya, maka saya langsung memberikannya di WAG kampung untuk dihantam. Sekali muncul, maka satu RT akan langsung gerak cepat dan ia tak akan bisa lagi berujar. Muncul lagi hantam muncul lagi hantam begitu seterusnya. Bagi saya keberadaan mereka layaknya benalu yang harus dicabut sampai ke akar-akarnya. Untunglah, mereka tak lagi berkoar terlebih banyak media asing yang menyorot tragedi tersebut.

Hujan Badai dan Mati Listrik

Bulan Oktober kemarin menjadi bulan yang mencekam. Hampir setiap hujan turun deras. Tak sekadar hujan, petir menyambar denngan angin kencang mewarnai Oktober. Apesnya, hujan deras dan angin kencang yang turun hampir selalu membawa petaka berupa mati listrik.

Pernah sekali saya mau kerja bareng teman di kontrakannya. Sudah siap dengan segala perlengkapannya eh malah mati listrik. Saya mau pulang tidak bisa jadi kami akhirnya makan kuaci dan membeli bakso yang lewat. Abang baksonya juga kehujanan dan tidak berani berkeliling. Alhasil, ia gabung sama kami sambil ngobrol ngalur ngidul.

Kalau hujan deras seperti itu memang lebih baik diam di rumah dan ngobrol bareng. Saking randomnya obrolan kami, sampai-sampai saya baru ingat kalau harus pergi ke pasar saat itu juga mengambil pesanan kue. Ya wis akhirnya saya gagalkan pesanan tersebut meski sudah saya bayar.

Eh beberapa hari kemudian saat saya makan di warmindo hujan turun dengan deras. Sampai-sampai atap warungnya seakan mau terbang. Asli, saya ngeri dan akhirnya segera merampungkan makan untuk pindah ke musala. Paling tidak, kalau ada apa-apa jenazah saya masih ditemukan di musala. Itu lebih baik daripada di warmindo. Pokoknya, salama Oktober kemarin saya harus siap mental dengan hujan deras dan angin kencang yang melanda.

Ganti Kacamata

Saya selalu berpirinsip ketika ada rezeki besar, maka saya harus membeli barang yang penting dan agak mahal. Kalau kata orang Jawa biar nyenthel. Nah selepas dapat rezeki, saya bingung mau bekli apa. Mau beli baju kok masih banyak. Beli makanan yae man nanti juga cepet habis.

Akhirnya saya ingat kalau kacamata yang saya pakai sudah tidak ganti sejak 2019 dan tidak ada serepan atau cadangannya. Makanya, tanpa pikir panjang saya memutuskan ganti kacamata. Namun, saya ingat kembali kalau masih ada bekas lensa yang tak terpakai dengan ukuran sama dengan kacamata yang saya pakai sekarang.

Lensa tersebut berasal dari kacamata yang framenya patah. Dulu saya sempai mau mencari frame baru tetapi lupa terus karena kesibukan. Akhirnya saya pergi ke Pasar Besar Malang dan menggantinya dengan frame baru.

Mulanya agak susah mencocokkan frame yang pas dengan lensanya. Untunglah, saya mendapatkan sebuah frame lumayan bagus berwarna merah dan hitam. Walau agak norak, tetapi lumayanlah daripada frame lain yang saya rasa lebih norak karena bermotif macan. Lumayan lagi karena saya hanya perlu membayar 100 ribu untuk frame tersebut.

Itulah beberapa kejadian random di bulan Oktober. Walau bikin jantungan, tetapi saya pasti kangen bulan Oktober kemarin karena sering mengobrol dengan orang baru di suatu tempat akibat hujan badai. Bagi saya berkenalan dengan orang baru lebih menyenangkan daripada ngobrol dengan teman yang itu-itu saja.

3 Comments

  1. samaaaa, hampir sebulanan ini mood nulis aku turun, padahal ide ada, entah kenapa mau mulai ngetik aja kok ya kedistract sama ini itu. Sedihhh hahahaha
    Rasanya pengen balas dendam buat nuntasin semua ide, tapi ternyata ya tetep ga nulis nulis wkwkwkwk

    Berita kanjuruhan bikin sedih banget, aku shock, turut berduka cita buat temennya mas Ikrom

    ReplyDelete
  2. Soal tragedi Kanjuruhan, melihatnya saja sudah berat mas. Itu salahj satu alasan mengapa saya tidak pernah mau nonton sepakbola Indonesia secara langsung di stadion. Kondisinya "menyeramkan" karena gabungan dari mentalitas masyarakat, termasuk aparat dan semua yang terlibat yang tidak menempatkan keselamatan semua orang sebagai prioritas.

    Jadi, saya pilih nonton TV dan bukan sepakbola Indonesia.

    Korban Kanjuruhan banyak yang tidak bersalah dan memang sekedar menonton. Mayoritas justru adalah mereka yang memang sekedar berniat menonton. Jadi, memang tidak seharusnya dijadikan pion permainan sembunyi tangan dari banyak pihak lainnya.

    Polisi, penyelenggara, PSSI, termasuk "penonton" berperan serta dalam terjadinya tragedi itu. To be honest, meski saya ikut berbela sungkawa terthadap para korban, namun saya tidak bisa mengabaikan bahwa "penonton" memiliki peran.

    Banyak penonton dalam hal ini adalah mereka yang turun ke lapangan..

    Alasan apapun dalam sebuah pertandingan sepakbola, tidak ada pembenaran dengan memasuki lapangan. Kecintaan terhadap sebuah tim, tidak berarti memberi hak mereka untuk turun ke lapangan untuk tujuan apapun.

    Mereka yang turun ke lapangan memicu banyak tindakan lain.

    4 kesalahan tidak membuat jadi satu kebenaran. Empat kesalahan dan lebih dari semua pihak biasanya berujung pada malapetaka. Kali ini terjadi dalam bentuk tragedi Kanjuruhan.

    Meski saya bisa memahami bahwa tidak semua penonton bisa disalahkan dalam hal tragedi tersebut., tetapi saya tetap berpendapat bahwa semua pihak memegang peran tersendiri sebagai pemicu tragedi itu. Termasuk penonton (bukan keseluruhan dan hanya sebagian)

    Kalau mau tidak terulang

    - polisi harus mengubah prosedur pengamanan di stadiun
    - penyelenggara harus benar-benar yang berkompeten dan melaksanakan tugasnya dan bukan sekedar mementingkan bisnis
    - pemain harus tahu wilayahnya ada di lapangan
    - penonton harus juga punya sportivitas dan bisa menerima bahwa timnya hanyalah sekumpulan manusia yang bisa kalah dan menang

    Nyamannya nonton pertandingan liga Inggris adalah karena semua pihak tahu porsi masing-masing dan menjalankannya. Dan, di Indonesia, hal itu belum ada. Makanya menonton bola di Indonesia termasuk sesuatu yang berbahaya.. hahahahah

    Mungkin bersebrangan dengan pendapat mas, tetapi itulah pandangan saya. Duka saya untuk para korban, tetapi penonton (setidaknya sebagian di antaranya) merupakan bagian dari masalah persepakbolaan di Indonesia.

    Ikut berbelasungkawa untuk teman mas..but bisa ngebayangin pasti seru perang sama buzzer, meski mudah-mudahan saya tidak dianggap sebagai buzzer karena berbeda pendapat

    ReplyDelete
  3. Sedih sih ya tragedi Kanjuruhan ini, udahlah tragis, malah jadinya saling lempar, pakai buzzer pula.
    Dan lucunya si buzzer juga berasa udah mati rasa kemanusiaannya :(

    ReplyDelete
Next Post Previous Post