Tak Sengaja Bertemu Mantan Wartawan Senior Kompas Kang Pepih Nugraha




Bulan kemarin, saya disibukkan dengan kegiatan liburan yang saya jalani untuk menjaga kewarasan pikiran saya.


Saya memilih Semarang sebagai tempat berlibur lantaran tak jauh dari Jogja. Selepas berjalan-jalan di daerah Bandungan, rekan saya yang menemani perjalanan mengajak saya ke Masjid Kapal. Sebuah masjid berarsitektur unik berbentuk kapal.

Kala matahari mulai turun, kami pun tiba di masjid yang berada di Ngaliyan ini. Pengunjung cukup sepi hari itu. Maklum, tempatnya memang agak jauh dari pusat kota Semarang. Makanya, saya bisa cukup leluasan mengabadikan bagian demi bagian masjid itu.

Tak berapa lama, kumandang Azan Asar pun terdengar. Saya mengajak rekan untuk menunaikan salat. Di Masjid Kapal ini, tempat untuk salat ternyata ada di lantai 2. Itupun menurut saya tak terlalu luas. Jadi, saya sedikit menyimpulkan jika tempat ini lebih banyak berfungsi sebagai tempat wisata.

Selepas berwudu, saya tan rekan saya menunggu cukup lama untuk memulai salat. Saya sempat bingung kenapa tak ada satupun takmir masjid yang berada di sana seperti kebanyakan masjid-masjid lain.

Akhirnya, rombongan ibu-ibu pengajian yang berada di barisan saf wanita mulai gusar. Mereka pun menyuruh kami memulai salat secara berjamaah meski tak ada takmir masjid yang hadir.

Rekan saya pun saya dapuk menjadi imam. Tak berapa lama, ada serombongan jamaah pria yang juga ikut salat. Empat rakaat salat asar pun tunai kami laksanakan. Seperti biasanya, saya bersalaman dengan jamaah kiri kanan seperti pada salat jamaah sehari-hari.

Di samping saya, ada seorang pria muda berkaca mata dan menyalami saya sambil mencium tangan saya. Di sebelahnya lagi, ada seorang paruh baya yang entah mengapa saya merasa tak asing.

Kok pernah tahu ya, tapi di mana?


Pertanyaan itu sedikit timbul dalam hati. Saya memang memiliki kelemahan sukar mengenali orang meski pernah mengenalnya. Saya hanya tahu wajahnya namun jika jarang atau tak pernah bertemu otak saya tidak bekerja dengan baik untuk sekadar memunculkan sebuah nama.

Selepas saya berdoa, saya ingat dua tiga hari ini saya tidak menulis dan membuka akun Kompasiana. Baru saja saya akan mengetik Halaman profil saya seperti biasanya, mendadak saya ingat.

Itu kan Kang Pepih Nugraha?


Saya langsung mencari keberadaan sosok tersebut. Untunglah, sosok itu masih menunaikan salat sunah selepas salat fardhu. Saya amati sebentar karena saya juga masih ragu dan takut salah orang.

Selepas beliau meninggalkan ruangan salat, saya pun juga ikut keluar. Masih antara ya dan tidak, saya coba membuka foto Kang Pepih di berbagai portal berita.

Akhirnya, saya mantap meyakini bahwa itu Kang Pepih dari bahasa Sunda yang beliau ucapkan dengan keluarganya. Dengan segera, saya menghampiri beliau dan menanyakan apakah betul beliau adalah Kang pepih.

Dan ternyata benar. Alhamdulillah. Beliau juga kaget dan menanyakan siapa saya. Yah, harap maklum saya bukan sosok terkenal. Bahkan di Kompasiana sekalipun. Saya pun mengatakan bahwa saya menulis di Kompasiana sampai sekarang. Mendengar itu, Kang Pepih sangat gembira.

"Wah terima kasih, ya Mas. Sudah disapa."

Iya, saya juga gembira. Tak menyangka bisa bertemu Kang Pepih meski bukan dalam suatu acara formal ataupun acara pelatihan kepenulisan. Beliau menanyakan saya gemar menulis tentang traveling terutama tentang candi dan kereta api.

Berswafoto dengan Kang Pepih
Saya pun bercerita bahwa baru saja mengunjungi sebuah candi kecil di Kabupaten Semarang. Kang Pepih pun mengapresiasi saya. Ya Tuhan, saya sangat gembira. Walau tulisan saya remeh temeh, dengan sedikit apresiasi dari Kang Pepih membuat saya semakin semangat menulis. Termasuk, menulis tulisan ini di atas Kereta Api Maharani dalam kondisi yang terkantuk-kantuk.

Kang Pepih berpesan bahwa kalau bisa saya konsisten menulis. Insha Allah anti tulisan saya bisa jadi ladang amal terutama jika bermanfaat. Kang Pepih juga bercerita mengenai Kompasiana sekarang.

Meski tidak lagi menggawangi blog keroyokan ini lagi, namun beliau masih melihat perkembangannya dari luar. Beliau tetap mengapresiasi Kompasiana yang terus mengalami lonjakan jumlah penulis dalam beberapa waktu terakhir.

Di sela-sela obrolan kami, beliau memperkenalkan keluarganya. Ada anak laki-lakinya yang tadi menyalami saya dan mertuanya yang masih sehat.

Saya semakin kagum karena sosok Kang Pepih ya seperti sosok kebanyakan warga biasa yang apa adanya terlepas dari status ataupun posisi yang beliau sandang. Menjadi apa adanya, sederhana, dan ramah terhadap orang. Itulah yang bisa saya tangkap dari beliau.

Sayang, waktu jualah yang memisahkan kami. Kang Pepih harus berangkat ke tempat lain beserta rombongan keluarganya. Sementara saya juga harus segera pergi ke rumah rekan saya yang mengantar saya tadi. Semoga saya masih diberikan kesempatan lagi untuk bertemu beliau dalam waktu yang lebih baik.

Terima kasih Kang Pepih dan Kompasiana. Liburan saya jadi makin sempurna.

11 Comments

  1. btw dari kapan pengen ke masjid kapal ini blm kesampaian e, dududu.. bagus buat pepotoan, dasar ya!

    ReplyDelete
  2. aku gagal fokus sama masjid kapalnya. belum pernah ke sana padahal tinggal di semarang

    ReplyDelete
  3. Wih, masjidnya unik banget. Aku baru tau ini. Kok lucu siiih. Pengen deh nyobain sholat di sini. Idih sumpah aku bolak-balik ke Jogja, aku gak tau ada masjid kapal ini. Cupu banget nih aku. Mainnya kurang lama.

    ReplyDelete
  4. Selamat yah Mas sudah bertemu dengan Kang Pepih.#saya jadi terharu. :)

    Kalau bertemu dengan Kang Nata, jangan lupa di tegur juga yah, siapa tahu kita bisa ngopi bareng, tapi yang bayarinnya pakai uang Mas Ikrom yah, hihihihi...#bercanda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. ayo mas
      tapi samperin aku ya pakai kereta kuda hihi

      Delete
  5. Eh masjidnya keren btw, jadi gagal fokus ke masjid kapal gara2 thumbnailnya itu. wkwkwkwk

    ReplyDelete
  6. Keren bentuk masjidnya.
    Jadi pengen sholat di sana.

    ReplyDelete
Next Post Previous Post